Fakta-Fakta tentang Kekerasan yang Terjadi di Bangladesh, Apa Kata Masyarakat Sipil
KOALISI masyarakat sipil yang tergabung Alliance of Communities and Democracy Movements for Bangladesh (ACAB) menggelar aksi solidaritas terhadap kekerasan yang dilakukan pemerintah di Bangladesh kepada masyarakat sipil.
Aksi solidaritas dilaksanakan Agustus 2024 di Kedutaan Besar Bangladesh, Tebet, Jakarta Selatan, kemarin. Aksi ini merespons peristiwa kerusuhan yang mematikan lebih dari 200 orang tewas dalam waktu kurang dari 10 hari dan ribuan lainnya terluka disebabkan kekerasan aparat keamanan.
Baca juga: Bangladesh Tetapkan Status Siaga Tinggi Usai Demonstrasi Berujung Rusuh
Kerusuhan yang terjadi di Bangladesh disebabkan kebijakan sistem kuota 30% pekerjaan sipil diperuntukkan bagi kelompok elit dan kerabat para veteran yang bertempur dalam perang kemerdekaan Bangladesh dari Pakistan pada tahun 1971.
Baca juga: Seorang WNI Tewas Jadi Korban Kerusuhan di Bangladesh
Kebijakan ini diprotes dari kalangan mahasiswa dan kelas menengah ke bawah. Pada 15 Juli 2024, para mahasiswa Universitas Dhaka yang melakukan aksi protes damai menyerukan reformasi alokasi kuota pekerjaan diserang dengan kelompok bersenjata.
Peristiwa semakin memanas pada 21 Juli 2024 polisi menembakkan gasoline air mata dan melemparkan granat suara untuk membubarkan pengunjuk rasa saat berdemo, ratusan orang terbunuh dan 2.500 orang ditangkap secara sewenang-wenang keadaan semakin ricuh karena Pemerintah Bangladesh turut memutus akses layanan web dan pesan teks sehingga menyulitkan masyarakat melakukan komunikasi.
Baca juga: Mahasiswa Menghadap Panglima Militer setelah PM Bangladesh Mundur
Mahasiswa, jurnalis, perempuan, dan anak juga menjadi korban dari kekejaman Pemerintahan Bangladesh yang saat ini dipimpin Perdana Menteri Shekh Hasina.
Baca juga: Hasina Tiba di India untuk Cari Suaka ke Inggris
Tim Advokasi Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Annisa Azzahra menyampaikan bahwa peristiwa yang di Bangladesh merupakan bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan dari tindakan brutalisme aparat keamanan Bangladesh.
Menurutnya pemerintah Bangladesh menyebarkan narasi bahwa apa yang terjadi bukanlah genosida sedangkan apa yang terjadi ialah pembantaian mahasiswa dan jurnalis.
Masyarakat sipil menuntut kedutaan bangladesh di Indonesia untuk character nongrata yakni setiap negara berhak untuk menolak atau mengusir diplomat yang menjalankan tugasnya di negara penerima duta besar Bangladesh karena mereka tidak bisa membela hak-hak masyarakat bangladesh.
Praktik character nongrata diatur dalam Pasal 9 Konvensi Wina 1961 yang telah diratifikasi melalui UU No. 1 Tahun 1982 artinya diplomat asing yang diminta oleh negara tuan rumah untuk dipanggil kembali ke negara asalnya. Massa turut mendesak pemerintahan Bangladesh untuk melepaskan tahanan yang ditangkap sewenang-wenang, memberikan pemulihan kepada korban serta mendesak Perdana Menteri Shekh Hasina untuk bertanggung jawab atas ratusan kematian masyarakat sipil di Bangladesh. (H-3)