Penyusunan Laporan CEDAW Harus Inklusif dan Libatkan Seluruh Elemen
INDONESIA akan kembali menyusun dan melaporkan hasil dokumen konvensi tentang hak asasi perempuan berupa Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Conference at the Removing of All Kinds of Discrimination Towards Girls/CEDAW), sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1984. Pelaporan periodik setiap 4 tahun sekali ini akan disampaikan pemerintah Indonesia kepada Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) maksimal November 2025.
Nation Consultant UN Girls Indonesia, Dwi Faiz mengatakan bahwa Indonesia sebagai negara yang telah melaporkan dokumen CEDAW sebanyak 8 kali harus lebih baik dalam menyusun laporan CEDAW. Menurutnya ada beberapa hal yang harus digaris bawahi dalam pelaporan dokumen CEDAW agar dalam implementasinya tidak menyebabkan diskriminasi.
“Dokumen CEDAW harus memenuhi prinsip kesetaraan tidak hanya secara substansi namun juga dejure yang dijamin secara hukum, bahwa hasil kebijakan CEDAW harus dapat dinikmati secara actual yang didasari bentuk data-data statistik dan fakta. Selain itu, implementasi CEDAW juga tidak hanya dinilai dari hasil-hasil produk hukum atau regulasi tapi juga penerapannya,” ujarnya dalam peringatan 40 tahun implementasi CEDAW di Jakarta pada Senin (12/8).
Baca juga: Menteri PPPA: Laporan CEDAW Indonesia Harus Bisa Menjawab Masalah Diskriminasi Perempuan
Dwi menekankan bahwa dokumen CEDAW harus memenuhi prinsip non-diskriminasi yang menekankan pada efek dan tujuan, serta menempatkan pemerintah sebagai pihak yang akuntabel untuk melaksanakan rekomendasi CEDAW. Selain itu, dia juga menekankan beberapa isu yang akan dibahas dalam CEDAW.
“Langkah-langkah yang penting misalnya menekan trafficking, exploiting, dan prostitusi. Misalnya untuk pasal 6 mengenai hak politik dan kehidupan publik. Selain itu, ada isu mengenai pelayanan kesehatan dan kesempatan pekerjaan yang setara. Hingga saat ini, pekerja perempuan masih rendah maka kita harus bisa menghasilkan kebijakan yang hasilnya menekan dan meningkatkan feminine exertions drive participation,” katanya.
Perwakilan CEDAW Operating Workforce Indonesia (CWGI), Listyowati mengatakan bahwa isu-isu yang diangkat dalam CEDAW sangat beragam sehingga harus melibat berbagai partisipasi masyarakat publik khususnya NGO dan tokoh adat/agama.
Baca juga: 40 Tahun Ratifikasi CEDAW, Pemenuhan Hak Perempuan Masih Hadapi Tantangan
“Bagi kami ketika bicara implementasi CEDAW, artinya kita bicara perempuan dan keberagamannya. Ini menjadi ruang untuk melihat information dan fakta yang terjadi, apakah benar masih terjadi diskriminasi yang berkaitan dengan keberagamannya? Selama 40 tahun ini, CEDAW harus bisa terinternalisasi dalam struktur, kultur dan substansi kebijakan, agar tidak terjadi pengulangan rekomendasi lagi,” jelasnya.
Lebih lanjut, Listyowati menjelaskan bahwa implementasi CEDAW juga harus diawasi setidaknya dengan melihat empat kuadran yaitu perempuan pada tingkat individu, kultur, isi substansi, dan struktur keterwakilan.
“Ada beberapa pekerjaan dari hasil CEDAW tahun sebelumnya yang masih harus diselesaikan yaitu RUU kesetaraan dan perlindungan perempuan, RUU PPRT, pembuatan RAN terkait pencegahan P2GP. Lalu struktur keterwakilan yang bermakna juga harus memastikan agar substansi dan perspektif CEDAW dijadikan dasar untuk pengambilan kebijakan,” katanya.
Baca juga: PBB Akui Palestina sebagai Sebuah Negara
Selain itu, Listyowati menjelaskan bahwa akses pelayanan kesehatan bagi perempuan juga masih menjadi pekerjaan rumah karena belum memenuhi perspektif gender sesuai konvensi CEDAW, khususnya pelayanan kesehatan bagi perempuan saat terjadi kebencanaan.
“Misalnya dalam isu bencana, implementasinya masih dalam tataran kebijakan, CEDAW meskipun sudah 40 tahun tapi di beberapa tataran ini masih sebatas wacana dan produk tapi komitmen untuk menghapuskan kekerasan ini menjadi sebuah tantangan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Listyowati mengatakan bahwa salah satu kendala dari implementasi CEDAW yaitu kurangnya komitmen kementerian dan lembaga serta adanya sektor sektoral. Menurutnya, komitmen implementasi CEDAW bukan hanya tugas KPPPA namun juga lintas Ok/L.
Baca juga: Sunat Perempuan Adalah Diskriminasi dan Kekerasan
“Kami mencoba identifikasi 60 poin dalam hasil CEDAW ke 10 Ok/L tetapi catatannya adalah pemahaman dan ruang itu belum menjadi komitmen semua Ok/L terkait implementasi CEDAW. Ada kementerian yang baru mengetahui CEDAW, bahkan perlu dilihat bahwa CEDAW ini adalah kerja negara artinya Ok/L punya semua tanggung jawab sehingga tidak hanya KPPA saja yang mengawal dan mengimplementasikannya,” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Ditjen HAM, Kemenkumham, Dhahana Putra mengatakan bahwa pihaknya terus memberikan pelatihan secara komprehensif kepada berbagai lembaga peradilan dan aparat keamanan agar implementasi CEDAW dapat terwujud dengan perspektif gender.
“Untuk pegawai kami berupaya memberikan satu pelatihan asasi manusia khususnya terkait pemahaman konvensi CEDAW yaitu tentang penyelesaian berbagai kasus dengan berspektif gender. Kami juga memperkuat pengawasan dengan keterlibatan dari inspektorat,” jelasnya.