Jabatan Politik Harus Diatur, Termasuk Pimpinan Partai

Jabatan Politik Harus Diatur, Termasuk Pimpinan Partai


Jabatan Politik Harus Diatur, Termasuk Pimpinan Partai
KETUA Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and World Research (CSIS) Arya Fernandes(Dok.MI)

KETUA Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and World Research (CSIS) Arya Fernandes menekankan pentingnya pembenahan kandidasi politik yang berkaitan dengan kontestasi pemilihan umum (pemilu), pemilihan kepala daerah (pilkada), maupun pimpinan partai politik. Hal itu diperlukan berkaca dari penyelenggaraan pemilihan sepanjang 2024.

Baginya, proses pencalonan harus terbuka. Sehingga, semua orang dapat mengakses proses penentuan kandidat, baik calon presiden-wakil presiden, anggota legislatif, maupun ketua umum partai. Selama ini, ia menilai syarat pencalonan yang jelas tak diatur lewat undang-undang.

“Untuk legislatif, misalnya, karena kebutuhan kita untuk memperkuat partai politik, caleg itu harus paling tidak menjadi anggota partai untuk masa waktu tertentu, misalnya kita atur satu tahun,” kata Arya dalam diskusi digital bertajuk Hasil Asessment Pemilu 2024, Selasa (13/8).

Baca juga: Relawan Dorong Anies Gandeng PDIP dalam Pilgub Jakarta

Kejelasan kandidasi, sambungnya, harus mencakup indikator bagaimana proses yang mesti dilewati, siapa yang memilih, maupun syarat seseorang dapat dicalonkan. Selain kandidasi dalam kontestasi, Arya juga menggarisbawai pentingnya regulasi yang mengatur rotasi kepemimpinan dalam sebuah partai politik.

Itu, misalnya, memperjelas aturan berhak tidaknya anggota partai memilih ketua umum. Lalu, siapa saja yang dapat mencalonkan diri sebagai pucuk pimpinan partai juga perlu dipertegas. Baginya, jabatan ketua umum partai politik harus dibatasi dengan periode tertentu.

“Kalau enggak diatur soal kandidasi dengan jelas, orang (kader partai) mengalami demotivasi,” ujar Arya.

Arya berpendapat, kandidasi yang transparan bakal melahirkan kompetisi yang adil. Dalam hal pilkada, ia menilai selama ini proses kandidasinya terlalu condong diputuskan oleh elite partai saja.

“Pada akhirnya pilkada hanya menjadi political game-nya elite, bukan political game-nya publik. Dalam kondisi seperti itu, tentu kalau kandidasinya enggak transparan, terbuka, partisipatif, ya jelas enggak kompetitif,” pungkasnya. (Tri/P-2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *