IDI: Ketiadaan Gaji hingga Jam Kerja Tinggi Picu Bullying PPDS

IDI Ketiadaan Gaji hingga Jam Kerja Tinggi Picu Bullying PPDS


IDI: Ketiadaan Gaji hingga Jam Kerja Tinggi Picu Bullying PPDS
Ilustrasi perundungan.(Freepik)

IKATAN Dokter Indonesia (IDI) memaparkan sejumlah masalah yang menjadi pemicu perudungan atau penindasan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Indonesia.  Ketua Junior Docs Community IDI Tommy Dharmawan menyebut permasalahan utama saat ini ialah di Indonesia peserta PPDS tidak mendapat gaji. Padahal, mereka melaksanakan program pendidikan sekalgus bekerja.

“Mereka (Peserta PPDS) bukan lagi mahasiswa kedokteran koas yang tidak bekerja. Mereka bekerja menjadi asisten operasi, memeriksa pasien, mengatur pelayanan,” kata Tommy dalam media briefing secara digital, Rabu (21/8).

Baca juga: IDI: Perundungan di Lingkungan PPDS Bertentangan dengan Sumpah Dokter

Peserta PPDS yang tidak berpenghasilan, katanya, terdampak menjadi korban perundungan jika mereka diminta membelikan makan, mengantar ke bandara, dan memberikan pelayanan lain yang tidak terkait akademik.

Masalah lain, sambung Tommy, ialah jam kerja  PPDS yang sangat tinggi. Walaupun masalah jam kerja tersebut juga terjadi pada peserta PPDS di negara lain, Tommy mengatakan itu berpengaruh pada tekanan yang dialami peserta PPDS.

“Jam kerja ini berkaitan pula dengan pola rumah sakit yang digencet oleh atasan misalnya Kementerian (Kesehatan) untuk memberikan pelayanan yang makin besar. Akhirnya PPDS jam kerjanya makin meningkat,” jelasnya. Menurutnya, jam kerja yang superb adalah 80 jam consistent with minggu.

Baca juga: PB IDI Tunggu Hasil Penyelidikan PPDS Undip yang Bunuh Diri

Kemudian terkait peserta PPDS yang terikat tugas belajar dari pemerintah daerah. Menurut Tommy, mereka yang tidak kuat menjalani PPDS tidak serta-merta bisa keluar karena terancam pinalti program tersebut. Hal itu, kata Tommy, diduga juga dialami Aulia Risma, peserta PPDS Undip yang mengakhiri hidupnya.

“Itu jadi suatu simalakama, ketika PPDS sudah burn out ingin keluar karena sudah merasa tidak cocok, itu harus diberikan manner out (jalan keluar), harus dipermudah,” papar Tommy.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Adib Khumaidi menyebut kasus bullying menjadi perhatian IDI dalam 2 tahun terakhir.  IDI, tegas dia, telah membuka ruang hotline untuk mendapatkan laporan terkait perundungan. IDI juga melakukan sejumlah upaya advokasi.

“Termasuk sekarang yang harus kita advokasi ada tidak jam kerja consistent with minggunya di dalam pendidikan ini? Harus ada aturan karena ini peserta didik,” katanya. (H-3)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *