Upaya Mendekonstruksi Citra Perpustakaan
“BUKU adalah jendela dunia dan membaca adalah kuncinya.”
Kalimat di atas ialah ajakan sekaligus untuk menggambarkan betapa penting membaca bagi peningkatan pengetahuan dan kualitas sumber daya manusia. Dengan berkunjung ke perpustakaan (Hari Kunjung Perpustakaan jatuh pada 14 September) dan membaca buku, masyarakat dapat menambah wawasan dan meningkatkan literasi.
Banyak studi menunjukkan pelbagai manfaat dari aktivitas membaca, seperti meningkatkan IQ, prestasi akademik, mengisi waktu luang, meningkatkan penguasaan kosakata, meningkatkan kemampuan menulis, serta membentuk seseorang menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Baca juga: Hari Kunjung Perpustakaan 14 September, ke Perpustakaan Tak Sekadar Baca Buku
Sedemikian bermanfaatnya aktivitas membaca sehingga telah banyak lembaga nasional dan internasional yang memiliki perhatian pada aktivitas membaca serta mengukur tingkat kegemaran membaca dan literasi.
Dalam hasil riset terbarunya pada 2023, Perpusnas melaporkan tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia sebesar 66,77. Nilai tingkat kegemaran membaca masyarakat pada 2023 itu meningkat sebesar 2,87 poin dari 63,90 pada 2022. Survei Kegemaran Membaca 2023 tersebut dilaksanakan di 104 kabupaten/kota pada 36 provinsi dan melibatkan 11.683 responden.
Survei yang dilakukan UNESCO (2019) melaporkan Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara di dunia pada stage literasi baca. Knowledge UNESCO menunjukkan hanya 0,001% masyarakat Indonesia yang gemar membaca dan itu berarti dari 1.000 orang Indonesia, cuma satu orang yang rajin membaca. Di negara Asia Timur seperti Korea, Jepang, dan Tiongkok, rata-rata mereka memiliki 20 buku baru bagi setiap orang. Beberapa pengamat menyatakan bahwa saat ini pada dasarnya kecenderungan membaca sebagian masyarakat Indonesia masih rendah (UNESCO, 2019).
Baca juga: Perpustakaan Indonesia Masih Hadapi Persoalan Klasik
Kunci keberhasilan
Salah satu kunci keberhasilan dalam mengembangkan minat, ketertarikan, dan perilaku gemar membaca ialah faktor ketersediaan serta akses pada bahan bacaan. Dari pelbagai penelitian yang ada, diperoleh kesimpulan yang sama bahwa ketika bahan bacaan atau buku bacaan banyak tersedia untuk dibaca, akan lebih banyak aktivitas membaca yang dilakukan (Greaney, 1980; Kim, 2003; Krashen, 2004; McQuillan, 1998; Morrow, 1993; Neuman, 1986). Artinya ketika ketersediaan dan akses pada bahan atau buku bacaan terbuka, hal itu akan memperkaya pilihan serta memberikan kemungkinan semakin banyak buku yang bisa dibaca.
Baca juga: Menumbuhkan Minat Baca Dengan Gerakan PM
Menurut Krashen (2004), upaya untuk mencukupi ketersediaan dan akses pada bahan atau buku bacaan bisa dilakukan di lingkungan rumah, sekolah, serta perpustakaan umum. Di lingkungan rumah, semakin tersedia bahan bacaan yang cukup maka makin besar kemungkinan anak untuk melakukan aktivitas membaca.
Tumbuhnya kebiasaan membaca serta keantusiasan pada bacaan, menurut Lao dalam Krashen (2004), lebih banyak bergantung pada lingkungan yang menyediakan banyak bahan bacaan. Sebaliknya, jika lingkungan tidak menyediakan bahan bacaan, orang akan menjadi tidak tertarik pada bacaan bahkan malas untuk membaca.
Selain itu, pemberian kesempatan oleh sekolah untuk mengakses koleksi buku bacaan di perpustakaan sekolah dan menyediakan bahan bacaan yang banyak untuk dibaca serta dipinjam merupakan upaya yang penting pula. Jika perpustakaan sekolah yang tidak memberikan keleluasaan kepada siswa untuk membaca dan tidak menyediakan pilihan bacaan yang cukup serta menarik, tentu kesempatan untuk lebih banyak membaca tidaklah ada (Krashen, 2004).
Baca juga: Temanggung Luncurkan Pinjam Buku Digital
Kemudahan dan terbukanya peluang mengakses perpustakaan umum akan memberikan kemungkinan aktivitas membaca tumbuh dan berkembang di kalangan anak dan siswa. Intensitas yang tinggi dalam mengunjungi serta meminjam koleksi perpustakaan umum akan memberikan dampak positif bagi pengembangan minat membaca. Kim dalam Krashen (2004) menemukan ada hubungan antara kemudahan akses pada perpustakaan dan intensitas membaca.
Merujuk pada Miller & McKenna (2016) terdapat empat faktor yang dapat memengaruhi terjadinya aktivitas literasi membaca. Keempat faktor tersebut yang meliputi, prtama, kecakapan atau kecakapan merupakan syarat awal agar seseorang dapat mengakses sumber-sumber literasi. Bebas buta aksara, misalnya, merupakan salah satu syarat kecakapan yang harus dimiliki untuk dapat membaca teks-teks tertulis.
Kedua, akses yang merupakan sumber daya pendukung tempat masyarakat dapat memanfaatkan sumber-sumber literasi, seperti perpustakaan, toko buku, dan media massa. Masyarakat yang tidak memiliki akses yang memadai sudah barang tentu sulit diharapkan dapat mengembangkan literasi mereka.
Ketiga, alternatif, yakni berkaitan dengan beragam pilihan perangkat teknologi informasi dan hiburan. Di sini dapat dimaknai sebagai opsi lain yang disediakan perangkat elektronik dan virtual dalam mengakses sumber-sumber literasi. Tidak harus dalam bentuk bacaan cetak, seseorang bisa pula membaca berbagai bacaan virtual melalui device yang dimiliki.
Keempat, faktor budaya yang meliputi gagasan, nilai, norma, dan makna yang dibentuk keluarga, komunitas, dan lingkungan yang lebih luas yang turut memengaruhi perilaku literasi. Dalam hal itu budaya dimaknai sebagai upaya membentuk kebiasaan atau habitus literasi. Seseorang yang hidup dalam keluarga yang mendukung perilaku gemar membaca niscaya akan tumbuh dengan kebiasaan membaca yang baik.
Citra perpustakaan
Tugas utama pustawan ialah bagaimana mampu melayani dan mendukung upaya pengembangan perilaku gemar membaca masyarakat. Cuma yang menjadi masalah bagaimana para pustakawan sebagai pengelola perpustakaan yang notabene merupakan institusi layanan dan penyedia informasi/bacaan mampu menembus kebekuan citra perpustakaan dari tempat yang tidak menyenangkan dan sepi menjadi tempat yang atraktif, menyenangkan dan sesuai dengan gaya hidup masyarakat pascamodern.
Citra perpustakaan yang serbasunyi dan penuh dengan tata tertib yang membatasi pengunjung seyogianya didekonstruksi kemudian direkonstruksi menjadi zona yang penuh warna-warni dan sesuai dengan gaya hidup masyarakat city yang dinamis. Memanfaatkan momen atau hari-hari tertentu dengan layanan yang kreatif ialah salah satu upaya yang patut dikembangkan pustakawan untuk menarik minat masyarakat city berkunjung ke perpustakaan.
Pada hari-hari tertentu, pustakawan memakai kostum-kostum yang berkaitan dengan tokoh-tokoh idola anak-anak atau remaja seperti Superman atau Spider-Guy atau memakai baju seragam yang sensasional. Bukan tidak mungkin hal itu akan menjadi daya tarik bagi siswa/remaja untuk berkunjung ke perpustakaan.
Salah satu proyek percontohan yang bisa dicoba ialah memanfaatkan popularitas movie atau budaya in style yang sedang naik daun sebagai acuan untuk mengembangkan program kerja perpustakaan. Tanpa didukung kesediaan untuk berinovasi, jangan harap perpustakaan di Indonesia akan ramai dikunjungi masyarakat.