Bukan Nasab Bharata
BHARATAYUDA adalah kisah pertempuran besar para Pandawa melawan Korawa di padang Kurusetra. Dari arti istilahnya adalah peperangan antar keturunan Bharata. Pertanyaannya, apakah Pandawa dan Korawa benar-benar merupakan garis keturunan Bharata?
Alkisah, tersebutlah klan Chandrawangsa yang diceritakan keturunan Sanghyang Candra atau Dewa Bulan. Dari Chandrawangsa, muncul klan Puru dan Yadu. Dari Puru, lahir Bharata yang keturunannya kemudian disebut Dinasti Bharata.
Bharata sangat terkenal karena menguasai wilayah sangat luas. Ia memiliki satu keturunan laki-laki bernama Kuru yang kemudian menggantikan sebagai penguasa. Kuru menikahi Yamadi dan memiliki seorang anak yang diberi nama Pratipa.
Ketika dewasa, Pratipa mewarisi kekuasaan wilayah ayahnya dan membangun Astinapura. Kota itu kemudian berkembang menjadi ibu kota negara Astina.
Kisah selanjutnya, Pratipa meminang Sunanda, putri penguasa Negara Siwi, dan melahirkan tiga anak, yaitu Bahlika, Dewapi, dan Sentanu. Bahlika menggantikan eyang dari garis ibu sebagai raja di Siwi, sedangkan Dewapi sebagai petapa.
Maka itu, saat Pratipa lengser, tidak ada pilihan lain selain menobatkan Sentanu sebagai penerus raja Astina. Sentanu digambarkan sebagai lelaki tampan, cerdas, dan pandai menggunakan aneka senjata. Salah satu hobinya ialah berburu ke hutan.
Pada suatu hari, saat berburu, Sentanu bertemu seorang wanita jelita yang berada di tepi Sungai Gangga. Raja muda tersebut langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Kasihnya kian menggelora setelah tahu perempuan itu hidup menyendiri.
Wanita tersebut sejatinya seorang bidadari bernama Jahnawi. Ia dikutuk Bathara Brama turun ke marcapada karena berbuat salah. Ia lalu menjalani laku prihatin menebus dosa di sepanjang pinggir Gangga. Oleh karena itu, ia biasa disebut Dewi Gangga.
Sentanu meminang wanita itu dan berjanji menuruti apa pun yang dimintanya. Di luar dugaannya, Dewi Gangga tidak minta apa-apa kecuali hanya satu syarat, Sentanu tidak boleh bertanya dan melarang yang dilakukannya kelak ketika punya anak.
Tentu saja Sentanu bimbang dengan syarat tersebut. Namun, karena cinta menggebu-gebu, syarat penuh tanda tanya itu tidak dihiraukan. Maka itu, diboyonglah Gangga ke Istana Astina dan dilangsungkan pernikahan agung dengan pesta meriah.
Seiring dengan berjalannya waktu, Gangga mengandung dan melahirkan anak. Namun, orok itu kemudian ditenggelamkan ke sungai. Begitu seterusnya hingga anak ketujuh. Sentanu tak kuasa mencegah perilaku gila yang berulang itu karena ingat janjinya.
Namun, ketika anak kedelapan lahir, Sentanu yang sudah tak kuat lagi menahan amarah merebut putranya dari gendongan Gangga yang akan membuang ke kali. Ia pun bertanya kenapa perbuatan tidak berperikemanusiaan itu terus dilakukan.
Saat itulah, Gangga menjelaskan bahwa tujuh anaknya yang telah ditenggelamkan ialah inkarnasi para yang lain (dewa) yang berbuat dosa. Karena Sentanu melanggar janji dan memang sudah kodratnya, Bathari Jahnawi pamit kembali ke kahyangan.
Sentanu memberi nama putranya dengan nama Dewabrata dan diangkat sebagai putra mahkota. Pada masa-masa membesarkan anak, Sentanu terpikat Setyawati, anak nelayan Dasabala. Wanita itu sejatinya Durgandini, putri Raja Wirata Prabu Basuketi.
Durgandini bersedia dipinang Sentanu dengan syarat hanya anaknya kelak yang menjadi raja Astina. Permintaan itu serta-merta tak bisa dipenuhi karena Dewabrata sudah digadang-gadang sebagai penggantinya.
Tak disangka, demi kebahagiaan ayah, Dewabrata rela tidak menjadi raja. Bahkan, ia bersumpah wadat sehingga tidak punya keturunan. Maka itu, Sentanu akhirnya bisa menikahi Durgandini dan memiliki dua anak, yakni Citranggada dan Wicitrawirya.
Ketika Sentanu wafat, Citranggada menggantikan sebagai raja. Namun, tidak lama kemudian, penguasa muda itu wafat tanpa memiliki keturunan. Wicitrawirya lalu sebagai raja berikutnya.
Pada suatu hari, atas nama Wicitrawirya, Dewabrata memenangi sayembara di negara Kasi dan membawa tiga putri boyongan, yakni Amba, Ambika, dan Ambalika. Amba menolak menjadi istri Wicitrawirya dan malah memilih Dewabrata. Namun, cintanya pupus karena lelaki yang dicintai itu wadat.
Ceritanya Wicitrawirya juga tidak berusia panjang, wafat tanpa keturunan. Dengan demikian, singgasana Astina kosong. Atas inisiatif Durgandini, Abiyasa diperintah menjadi penguasa sekaligus dinikahkan dengan Ambika dan Ambalika.
Abiyasa ialah putra Durgandini dengan Resi Palasara sebelum dipinang Sentanu. Putra pertamanya itu sejak kecil ikut bapaknya di Pertapaan Ratawu di Gunung Sapta Arga. Lelaki berkulit hitam itu mengikuti jejak bapaknya sebagai petapa.
Pernikahannya dengan Ambika melahirkan anak bernama Drestarastra. Dari Ambalika lahir anak laki pula yang diberi nama Pandu. Abiyasa masih memiliki satu anak lagi bernama Yama Widura yang lahir dari dayang Istana Datri.
Pada saat anaknya dewasa, Abiyasa yang bergelar Prabu Kresnadwipayana meninggalkan kerajaan (turun takhta) dan kembali ke Sapta Arga. Menurut konstitusi, takhta semestinya jatuh ke tangan Drestarastra sebagai putra sulung.
Namun, Drestarastra tidak bersedia mengemban amanah. Ia merasa tak pantas dan tak mampu karena matanya buta. Kekuasaan akhirnya direlakan kepada adiknya, Pandu.
Dari pernikahannya dengan Gendari, Drestarastra memiliki seratus anak yang disebut keluarga Kurawa. Adapun Pandu, dari pernikahnyan dengan Kunti dan Madrim, memperoleh lima putra atau yang kondang dikenal Pandawa.
Dari cerita singkat tersebut, jelas Pandawa dan Kurawa bukan nasabnya Bharata. Darah Bharata berhenti sampai Dewabrata. Saudara seayah yang berdarah Bharata, yaitu Citranggada dan Wicitrawirya, sama-sama tidak memiliki anak.
Pandawa dan Kurawa lahir dari Ambalika dan Ambika, janda Wicitrawirya, yang tak berdarah Bharata. Kedua keluarga yang pada akhirnya berperang itu murni trah Abiyasa yang moyangnya pendiri Pertapaan Ratawu bernama Resi Manumayasa. (M-3)