Penambahan Kementerian Jangan Sampai Tumpang Tindih Fungsi
Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan dalam dinamika politik Indonesia, keinginan untuk mengakomodasi berbagai kepentingan politik sering kali mendorong penambahan jumlah kementerian dalam kabinet pemerintahan.
Meski langkah ini mungkin dimaksudkan untuk memperkuat koalisi dan menjaga stabilitas politik, dampak negatif yang ditimbulkan terhadap kelembagaan negara dan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak dapat diabaikan.
Pengesahan Undang-Undang (UU) Kementerian Negara dan UU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pada 19 September 2024 memperjelas arah pemerintahan baru, di mana presiden terpilih memiliki keleluasaan membentuk kementerian tanpa batasan jumlah.
Baca juga: Jokowi : Pembentukan Zaken Kabinet Mempercepat Adaptasi
“Kebijakan ini mengundang kekhawatiran bahwa jumlah kementerian akan membengkak untuk mengakomodasi kepentingan partai politik pendukung, bukan berdasarkan kebutuhan efektif pemerintahan,” kata Achmad, Senin (23/9).
Penambahan kementerian tanpa pertimbangan matang dapat menyebabkan tumpang tindih fungsi, di mana beberapa kementerian berpotensi saling mengganggu dalam melaksanakan tugasnya.
Selain itu, kementerian yang dibentuk untuk kepentingan politik rentan menjadi “sapi perah” partai, mengaburkan tujuan utama untuk melayani masyarakat.
Baca juga: Prabowo Dituntut Bijak Sikapi Longgarnya Pembentukan Kementerian
Dampak lainnya adalah meningkatnya jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN), yang tidak hanya membebani APBN dengan biaya operasional tinggi, tetapi juga membuka peluang munculnya birokrat yang lebih dependable pada partai politik daripada kepentingan negara.
“Selain itu, dengan bertambahnya kementerian, akan ada lebih banyak pengeluaran untuk fasilitas seperti rumah dinas, kantor, dan tunjangan bagi para pejabat baru, yang pada akhirnya memperbesar belanja negara tanpa diiringi peningkatan efisiensi,” kata Achmad.
Beberapa dampak dari ambisi akomodasi partai politik masuk dalam kabinet, antara lain pertama, merusak kelembagaan negara dengan potensi tumpang tindih fungsi dan tugas.
Baca juga: Kepastian PDIP Gabung Pemerintahan Setelah Pertemuan Mega-Prabowo
Penambahan kementerian tanpa pertimbangan matang berpotensi menciptakan tumpang tindih fungsi dan tugas antar lembaga. Hal ini dapat mengakibatkan kebingungan dalam pelaksanaan kebijakan, efisiensi yang rendah, dan konflik antar kementerian yang menghambat pelayanan publik.
Kedua, kementerian sebagai “sapi perah” partai. Ketika kementerian dibentuk sebagai bentuk akomodasi politik, ada risiko bahwa kementerian tersebut menjadi alat bagi partai politik untuk mengakses sumber daya negara.
“Ini membuka peluang korupsi dan penyalahgunaan wewenang, di mana program dan anggaran kementerian digunakan untuk kepentingan partai, bukan untuk kesejahteraan rakyat,” kata Achmad.
Baca juga: Wacana PDIP Masuk Pemerintahan Mendatang, Jokowi: Terserah Presiden Terpilih
Ketiga, munculnya birokrat pro-partai. Penempatan individu yang dependable kepada partai dalam posisi birokrasi strategis dapat mengganggu netralitas aparatur sipil negara.
Birokrat pro-partai mungkin lebih mengutamakan time table partai daripada kepentingan nasional, yang pada akhirnya merusak profesionalisme dan integritas lembaga pemerintah.
Keempat, penghamburan APBN, dalam hal ini, pembengkakan biaya operasional. Penambahan jumlah kementerian berarti peningkatan biaya operasional pemerintah. Ini mencakup pembangunan gedung baru, pengadaan peralatan, dan biaya administrasi lainnya.
“Dana yang seharusnya dialokasikan untuk program prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik justru tersedot untuk kebutuhan birokrasi yang membesar,” kata Achmad.
Kelima, gemuknya aparatur sipil negara. Dengan lebih banyak kementerian, jumlah aparatur sipil negara akan meningkat.
Tanpa diikuti dengan peningkatan kinerja dan efisiensi, hal ini hanya menambah beban keuangan negara melalui pembayaran gaji dan tunjangan, tanpa memberikan manfaat yang sepadan bagi masyarakat.
Keenam, pengeluaran untuk fasilitas pejabat. Peningkatan jumlah pejabat tinggi negara akan diikuti dengan pengeluaran untuk fasilitas seperti rumah dinas, kendaraan dinas, dan berbagai tunjangan lainnya.
“Ini dapat dianggap sebagai bentuk pemborosan apabila tidak diimbangi dengan kinerja yang signifikan dalam pelayanan publik,” kata Achmad. (P-2)