Program Makan Bergizi Gratis akan Berdampak Besar Pada Penurunan Status Gizi Buruk Anak

Program Makan Bergizi Free of charge akan Berdampak Besar Pada Penurunan Standing Gizi Buruk Anak


Program Makan Bergizi Gratis akan Berdampak Besar Pada Penurunan Status Gizi Buruk Anak
Ilustrasi(MI/DESPIAN NURHIDAYAT)

MENYAMBUT pemerintahan baru dari pasangan Pesiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo-Gibran dengan program mentereng Makan Bergizi GratisPT Japfa Comfeed Indonesia Tbk bekerja sama dengan Yayasan Edufarmers, dan Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (PKGK FKM UI) melakukan studi kecukupan gizi anak Indonesia.

Hal ini dilakukan untuk memberikan masukan dan juga konsep untuk pemerintah terkait dengan pemberian Makanan Bergizi Free of charge di berbagai daerah, di mana lima daerah dijadikan sampel yaitu Padang, Mempawah, Sragen, Malang dan Makassar.

Company Affairs Director Japfa, Rachmat Indrajaya mengatakan bahwa program Makan Bergizi Free of charge merupakan perwujudan dari upaya untuk mencapai Indonesia emas 2044, di mana Indonesia harus memiliki sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, pintar, dan cerdas sehingga mampu bersaing di tingkat international.

Baca juga: CSPS UI: Program Makan Bergizi Gratis Bangkitkan Ekonomi Lokal

“Tentu tidak ini tidak serta merta bisa kita dapatkan. Harus dipupuk dari kecil dan harus mempunyai asupan gizi protein seimbang dan pendidikan yang baik,” ungkapnya dalam konferensi pers Makan Bergizi Bersama Japfa di Jakarta, Rabu (25/9).

Lebih lanjut, program pangan dunia (WFP) mencatatkan bahwa 22 juta lebih penduduk Indonesia sampai saat ini masing menghadapi kendala dalam pemenuhan gizi.

Selain itu, konsumsi protein hewani Indonesia juga masih tertinggal jauh, bukan saja dari negara maju, tapi juga negara tetangga yaitu Malaysia di mana konsumsi daging ayam according to kapita Indonesia pada 2022 hanya mencapai 8,2 kilogram/kapita/tahun sementara Malaysia mencapai 50,1 kilogram/kapita/tahun. Untuk konsumsi telur ayam Indonesia pada 2019-2021 hanya mencapai 15,6 kilogram/kapita/tahun sementara Malaysia mencapai 16 kilogram/kapita/tahun.

Baca juga: Gaya Hidup Sehat Menggeliat, Kesempatan Bunda Buka Usaha Makanan Sehat

“Untuk itu, kami sadar pemerintah punya program Makan Bergizi Free of charge tapi pelaksanaannya tidak mudah. Karena mencakup seluruh Indonesia. Ada di kota dan pelosok. Jadi JAPFA mau memberikan masukan dan konsep bagaimana keadaan di lapangan. Untuk itu kami mengadakan studi ini termasuk melihat perilaku masing-masing masyarakat ini kan pasti berbeda,” kata Rachmat.

Dalam studi ini, terdapat tiga metode dalam penyaluran makanan kepada masyarakat yaitu in a position to consume di mana Japfa menyediakan bahan baku dan memanfaatkan komunitas lokal untuk memasak dan mendistribusikannya kepada siswa.

Lalu siap untuk dimasak, di mana pihak yang memasak adalah komunitas sekolah guru atau orangtua yang diberdayakan. Terakhir adalah swakelola yaitu pihaknya memberikan uang kepada pihak sekolah kemudian mereka yang akan mengatur menu masakan dan juga pengelolaannya.

Baca juga: Kekecewaan Pemilih Jadi Tantangan Terbesar Pilkada Jakarta

Di tempat yang sama, Ahli Gizi dari PKGK, FKM UI, Prof. Dr. drg. Sandra Fikawati mengatakan bahwa menu makanan yang disusun berdasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 Tahun 2019 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Masyarakat Indonesia.

“Hasil yang didapatkan terlihat bahwa fashion in a position to cook dinner dan swakelola itu membuat orang bekerja dan bisa membuka lapangan kerja baru. Tapi swakelola waktunya butuh lebih banyak dari segi persiapannya. Secara keseluruhan, swakelola terlihat lebih baik dibanding in a position to consume dan in a position to cook dinner. Jadi sekolah yang memperhatikan kesukaan anak dan tidak memotong belanja. Terlihat hampir semua daerah penggunaan fashion swakelola lebih baik,” ujar Sandra.

Program studi ini sendiri berjalan selama 6 minggu dan hasil lain yang didapatkan adalah terjadinya penurunan standing gizi kurang atau buruk pada anak, di mana angka gizi buruk dari 2% menurun menjadi 0,5%, gizi kurang turun dari 7,7% menjadi 6,4%, dan gizi baik meningkat dari 68,9% menjadi 70,6%.

Baca juga: UI Gelar Pemilihan Rektor

Type swakelola memiliki tingkat konsumsi tertinggi di antara siswa dengan persentase 84%, diikuti oleh siap untuk dimasak dengan persentase 83%.

“Makanan yang paling sering disisakan adalah sayuran. Tapi buah dan susu hampir selalu dihabiskan. Perubahan standing gizi selama 6 minggu program dilakukan siswa mengalami perbaikan,” tuturnya.

Di lain pihak, Direktur Eksekutif Indonesia Meals Safety Evaluation (IFSR), I Dewa Made Agung menegaskan bahwa tidak ada keraguan bahwa program Makan Bergizi ini telah melakukan intervensi terhadap gizi anak secara positif.

“Program ini juga sangat baik bagi pemberdayaan sumber daya lokal dan juga membuat lapangan kerja baru. Jadi sebelumnya selalu diperdebatkan mengenai anggaran Makan Bergizi Free of charge. Padahal ini kan untuk investasi ke depan. Jadi pandangannya harus diubah. Pasti ada go back yang namanya investasi. Kalau kita rata-ratakan setiap USD 1 yang kita keluarkan memiliki go back sampai USD 4. Jadi ini program yang return-nya jelas bahkan hanya dalam waktu singkat,” ucap Dewa.

Studi ini dapat menjadi referensi penting untuk implementasi program makan bergizi di sekolah-sekolah. Dari studi ini juga dapat dilihat penyusunan rentang biaya yang perlu disesuaikan dengan daerahnya.

“Temuan kita di beberapa tempat anggaran berbeda tiap daerah. Secara umum tiap bulan itu Rp900 juta sampai Rp1,1 miliar. Tapi harga bahan baku tiap daerah juga berbeda. Itulah yang akan jadi pertimbangan di tiap daerah akan seperti apa. Solusinya harus pakai sumber daya lokal dan menu lokal,” tuturnya.

Selain itu, Dewa juga menambahkan perlu dipastikan pula produsen menghasilkan bahan makanan yang berkualitas dan terjamin keamanan pangannya, serta higienitas dalam proses produksi untuk hasil yang optimum. Seperti daging ayam yang berasal dari rumah potong ayam yang memenuhi standar dan memiliki sertifikat NKV.

“Program ini juga bukan hal baru dan sudah dilakukan di 90 negara. Dari berbagai negara banyak fashion yang sudah dijalankan. Untuk itu kita perlu pilot di beberapa titik dengan beberapa fashion. Negara kita sangat berbeda. Jangan sampai anak maunya sagu dikasih nasi dan lainnya,” tandas Dewa. (H-2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *