Peningkatan Kapasitas Pembangkit Biomassa Butuh Sinkronisasi Regulasi Pemerintah
KETUA Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Wiluyo Kusdwiharto mengungkapkan ada peningkatan kapasitas pembangkit listrik energi biomassa (PLTBm) hingga 1 gigawatt dalam draf rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2024 sampai dengan 2033.
Saat ini, potensi PLTBm diproyeksikan mencapai 313 megawatt (MW), dengan sejumlah PLTBm yang telah beroperasi di beberapa daerah, seperti Deli Serdang, Ujung Batu, Pasir Mandoge, Arung Dalam, dan Sandai, dengan general kapasitas 27 MW.
“Bakal ada rencana peningkatan kapasitas PLTBm hingga 1 GW dalam RUPTL mendatang,” ujarnya dalam keterangan resmi dikutip Kamis (3/10).
Baca juga: Sepanjang 2023, PLN EPI Telah Menyerap 1 Juta Ton Biomassa
Wiluyo juga menegaskan perlunya dukungan dan sinkronisasi regulasi yang kuat dari pemerintah, hal ini dinilai penting untuk mempercepat pengembangan biomassa di dalam negeri. Permasalahan yang dihadapi pihaknya antara lain soal harga biomassa yang sudah ditetapkan oleh Kementerian ESDMnamun untuk implementasinya berada di tangan PT PLN.
“Karena itu, kami masih harus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan agar biaya ini dapat masuk dalam biaya operasional yang diperbolehkan,” ujar Direktur Manajemen Proyek dan Energi Baru Terbarukan PT PLN itu.
Koordinator Investasi dan Kerja Sama Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Kementerian ESDM Trois Dilisusendi menjelaskan, Indonesia memiliki potensi besar dari biomassa yang apabila dikonversi menjadi listrik setara dengan 56,97 GW. Pada akhir 2023, kontribusi bioenergi dalam bauran energi terbarukan mencapai 7,4% dari general 13,3%.
Dia juga menyampaikan pengembangan bioenergi tersebut dapat mensubstitusi energi fosil di berbagai sektor, termasuk kelistrikan, transportasi, industri, dan rumah tangga.
Namun, beberapa tantangan masih dihadapi dalam pengembangan sektor biomassa, seperti pengadaan bahan bakar biomassa (B3m) yang memenuhi skala keekonomian, biaya transportasi dan logistik, serta pasokan biomassa yang berkelanjutan. Selain itu, tantangan harga, ketersediaan bahan, dan penerapan standar teknis seperti Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk bahan bakar biomassa juga menjadi perhatian penting. (E-2)