Menjajaki Lenso dan Musik Populer Indonesia
ERA 1950-1960-an menjadi gelanggang bagi Presiden Soekarno untuk menetapkan jati diri bangsa yang mandiri, termasuk merumuskan identitas budaya. Dalam lawatan diplomatik keliling dunia, Soekarno pernah memperkenalkan lensa sebagai gaya baru tari pergaulan. Secara historis, lenso adalah bentuk tarian yang diadopsi dan dilokalkan dari bangsa Portugis ketika mereka menjelajahi jalur rempah-rempah Nusantara.
Lalu, bagaimana sebuah tarian asal Maluku itu bertransformasi menjadi style musik di Indonesia pada generation itu, pun dipopulerkan lewat lirik-lirik yang tercipta pada masa itu, hingga terbentuk grup musik The Lensoist. Grup tersebut beranggotakan musisi terdepan masa itu, seperti Bing Slamet (vokal), Titiek Puspa (vokal), Nien Lesmana (vokal), Munif Bahasuan (vokal), Bubi Chen (piano), Idris Sardi (biola/bas), Jack Lesmana (gitar), Darmono (vibrafon), dan Benny Mustafa (drum). Mereka menggelar tur ke berbagai negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Belanda, Rumania, Hongaria, Aljazair, dan Thailand.
Pada 4 April 1965, sebuah piringan hitam bertajuk Mari Bersenang-senang dengan Irama Lenso dirilis, menampilkan empat lagu di setiap sisinya. Piringan hitam itu direkam untuk memperingati ulang tahun ke-10 Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang diadakan di Bandung. Album ini merupakan kolaborasi di antara beberapa musisi terkenal Indonesia dan Perusahaan Rekaman Irama. Ini menjadi sebuah upaya huge untuk menciptakan musik populer Indonesia dengan karakteristik budaya sendiri, lenso, yang dicanangkan Soekarno.
Baca juga: Jadi Romo di Film Kuasa Gelap, Jerome Kurnia Temukan Perspektif Baru dalam Karier Akting
Proses penerjemahan lenso lainnya berupa lagu-lagu daerah dari berbagai kepulauan di Indonesia yang ditransformasikan menjadi gaya-gaya khas saat itu. Pada masa itu pula, Soekarno meminta para musikus menggali ritmik lenso. Bereksperimen dengan suara-suara yang menjembatani sisi fashionable dengan ragam budaya di Indonesia. Para musikus, yang sebagian besar dilatih secara formal dalam tradisi musik Barat, juga harus memikirkan kembali metodologi mereka dalam mengartikulasikan apa yang dicirikan sebagai ‘suara-suara Indonesia’.
Budaya tanding
Baca juga: Serial Sekotengs Tayang 26 September, Hadirkan Dinamika 4 Dokter Koas Ganteng
Pengajar program studi musik Universitas Pelita Harapan (UPH), Jack Simanjuntak, menganalisis bahwa generation 50-60-an menjadi masa perkembangan musik yang subur bagi musik-musik barat di Indonesia lewat ritmik bossa Dan cha cha. Soekarno, yang ketika itu ingin mengidentifikasi jati diri bangsa di semua lini termasuk budaya, menggagas lenso sebagai budaya tanding.
“Musik lenso adalah bentuk menangkal dari Soekarno agar Indonesia bangkit, muncul kebanggaan dan kepercayaan diri untuk bisa hadir kembali berekspresi, yang jalurnya lewat musik. Itu karena musik adalah bentuk seni yang paling mudah untuk direspons, dan yang paling mudah ialah ritmik lewat tarian. Misal mendengar dangdut, tidak mungkin tidak goyang. Jadi ritmik adalah salah satu unsur musik paling purba yang ada di DNA manusia. Makanya hubungannya (lenso) sebagai tari dan musik ada di situ. Tafsir saya, Soekarno melihat itu sebagai spirit yang ditangkap,” kata Jack saat diskusi panel bertajuk Dari Gerak ke Rentak dalam rangkaian pameran Mari Berlenso yang digagas Irama Nusantara di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta Pusat, Minggu (30/9).
Pengajar dan penari lenso, Egi Pattinaya, memberikan perspektifnya tentang tari lenso. Lenso, yang berarti sapu tangan, merupakan tarian yang melibatkan gerak sapu tangan secara lembut gemulai. Pada masa dulunya, lenso dikenal dengan tari persaudaraan atau untuk mencari jodoh, pun menjadi tarian yang dikhususkan bagi perempuan. Ditarikan saat acara resmi atau ketika penyambutan tamu.
Baca juga: Percakapan Spontan Musik Berisik
“Kalau musik pengiringnya itu biasanya ada tutumbua, tifa, dan gitar. Ada juga irama bossa Dan cha chadan tifa kan juga dekat dengan itu,” kata Egi dalam kesempatan sama.
Hibridisasi musikal lenso
Baca juga: Sah! Nino Kayam RAN Resmi Menikah dengan Dhabitannisa Auni
Dalam pameran Mari Berlenso yang dikuratori Zikri Rahman, sebenarnya ada kecenderungan hibridisasi musikal yang terlihat jelas di berbagai style dalam musik populer Indonesia. Kecenderungan tersebut melekat secara common dalam proses produksi musik, baik dalam bentuk lagu-lagu Melayu awal, langgam Jawa dan campur sari, pop Sunda, hingga pop Minang. Strategi komposisi semacam itu dapat dikatakan selalu hadir dalam produksi musik lenso. Adaptasi dan inovasi dilakukan khususnya dengan memasukkan melodi yang erat dengan musik tradisi, pemanfaatan instrumen tradisional, hingga penggunaan lirik lagu daerah dalam bahasa daerahnya.
Jack menemukan dalam musik-musik yang dikategorikan sebagai style lenso. Ada lirik lagu bernuansa sosial dan semangat tradisional yang hadir. Lagu-lagu daerah menjadi perhatian. Meski demikian, ia juga menganalisis tidak ada titik kulminasi atau benang merah yang khas dari satu lagu ke lagu lain atau bahkan album untuk menyebut suatu karya tersebut dikategorikan sebagai ‘style’ lenso.
“Ritmiknya lebih dekat dengan bossa Dan cha cha yang populer pada masa itu. Saya melihat bagaimana karya itu diekspresikan dan direspons lewat satu kemasan populer yang paling kental supaya lebih gaul dan cepat menyebar sebutan kata lenso ke masyarakat,” jelas Jack.
Adapun Zikri, mengutip dari penelitiannya, menyebutkan tidak pernah ada kepastian tentang bagaimana lenso, sebagai style musik populer, seharusnya terdengar. Di antara album-album yang ditampilkan di pameran, masing-masing memiliki eksplorasi komposisi musik yang unik dan hanya istilah lenso dalam liriknya yang konsisten.
Namun, itu sebenarnya juga bukan satu-satunya cara untuk mengidentifikasi lenso sebagai style musik. Ia berpandangan, misalnya dalam album Tahu Tempe Oslan Husein, meskipun tidak ada pengucapan lenso secara langsung di dalamnya, album itu jelas menanamkan ‘semangat’ lenso melalui lirik yang merangkum konteks historis Indonesia dalam merayakan kedaulatan pangan.
“Dalam dimensi spekulatif, album tersebut menghadapkan kita pada sebuah pertanyaan: bagaimana kita memetakan album-album semacam itu dalam berbagai konstelasi lenso sebagai sebuah proyek budaya yang sedang berlangsung, berfokus pada penggabungan unsur-unsur tradisional, tapi dengan kepekaan fashionable terhadap produksi genrenya?” ungkap Zikri.
Lenso, yang dicanangkan Soekarno sebagai salah satu gerakan seni yang diturunkan ke berbagai produk populer pada masa itu, memang bisa ditafsirkan sebagai sesuatu yang layu sebelum berkembang. Sempat mekar, tetapi begitu cepat mati, karena setelah itu masuk generation Soeharto, yang menghapus apa pun jejak Soekarno. Jika tidak ada identifikasi ajek pada lenso sebagai style musik, mungkin kini lebih tepat dimaknai sebagai semangat, seperti yang dirujuk Jack atau Zikri. Sebuah musik yang bermuatan tradisi dan kelokalan Indonesia pada tiap unsurnya, baik secara tekstual lirik maupun bebunyian instrumennya. Toh, ketika itu, lenso berkelindan dengan irama bos, tidak, tidakatau bahkan juga dirujuk ke musik Hawaii yang diperlambat.
Semangat lenso mungkin kini bisa tetap ditemukan jejaknya di bunyi-bunyian atau lirik. Seperti, grup White Footwear and The {Couples} Corporate yang memasukkan kata lenso ke dalam lagu Matahari: berayunlenso a-go move’. Irama Pantai Selatan lewat judul lagu mereka Lensa Irama. Nonaria mungkin juga bisa sedikit dilekatkan dengan gaya bossa, dan lirik-lirik ‘merakyat’-nya ala Oslan Husein di Tahu Tempe seperti Antri Yuk, Sayur Labu, atau Maling Jemuran. Lagu-lagu pop kedaerahan yang kini juga populer, barangkali juga punya ‘spirit’ lenso yang mengalami proses hibridisasi dengan ragam bunyi musik fashionable. (M-3)