Muhibah Ideologis Megawati ke Rusia dan Uzbekistan
MEGAWATI Soekarnoputri dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP (Badan Konstruksi Ideologi Pancasila) melakukan kunjungan ke Rusia Dan Uzbekistan pada 16-20 September lalu. Media nasional mewartakan rangkaian acara yang dilakukannya cukup padat. Di Rusia, Megawati antara lain menyampaikan kuliah umum di kampus bergengsi Saint Petersburg State College, mengadakan pertemuan dengan Rektor Universitas Saint Petersburg Profesor Nikolay Kropachev, dan menjadi pembicara kunci di Discussion board Rektor Universitas se-Rusia.
Di Uzbekistan, Megawati menerima gelar profesor kehormatan dari Silk Street College, Samarkand, menanam pohon dan penandatangan prasasti Soekarno Lawn di Silk Street Tourism Advanced, dan berziarah ke makam Imam Besar Al Bukhari.
Dalam fatsun diplomasi, kunjungan mantan presiden negara sahabat ke suatu negara merupakan hal yang lazim. Namun, jika kunjungan itu dilakukan oleh mantan presiden yang juga menjabat sebagai pemimpin sebuah lembaga ideologi, hal itu membuka ruang persepsi yang sangat luas. Lantas, bagaimana memaknai kunjungan Megawati ke Rusia dan Uzbekistan dalam perspektif politik dan ideologi?
Baca juga: Ketua Dewan Direksi BPIP Memberikan Instruksi kepada Kepala Desa di Seluruh Indonesia
Kunjungan Megawati ke dua negara, Rusia dan Uzbekistan, masing-masing menawarkan fakta menarik. Namun, bagaimana membaca makna di balik fakta itu? Pertama, kunjungan ke Rusia. Ada satu koinsidensi historis antara kunjungan Megawati ke Rusia dan kerja diplomasi PBB.
Pada Mei 2023 PBB melalui UNESCO yang bermarkas di Paris menganugerahkan standing Warisan Arsip Dunia (Reminiscence of the International) untuk pidato Bung Karno di Sidang Majelis Umum PBB yang berjudul Untuk Membangun Dunia Baru pada 30 September 1960. Dipindai dari perspektif politik-ideologis dunia, ada satu hal yang menarik dalam pidato itu: Bung Karno memperkenalkan Pancasila kepada para pemimpin dunia di discussion board PBB.
Itu menghentak dunia. Betapa tidak, suasana hati atau suasana kebatinan politik internasional saat itu sungguh membuat pemimpin dunia galau karena dihantui rasa saling curiga (saling tidak percaya). Dunia seolah hanya ditentukan oleh dua ideologi besar dunia yang hegemonik: liberal-kapitalis as opposed to sosialis-komunis, dengan masing-masing patronnya AS dan Uni Soviet.
Baca juga: Megawati Kembali Menjabat Ketua Dewan Pengarah BPIP
Kata Bung Karno, manakala kedua ideologi besar itu berbenturan dan saling mengalahkan, Pancasila justru menawarkan prinsip-prinsip yang bisa diterima kedua ideologi itu. Pancasila mengandung nilai common dalam fatsun relasi antarnegara, apa pun ideologinya. Universalitas Pancasila itu seolah ‘mendamaikan’ nilai yang dianut kedua ideologi yang sedang berseteru.
Justru karena ada esensi nilai ‘damai’ itulah, tak berlebihan jika dikatakan Pancasila ialah ideologi perdamaian. Meski dalam kadar dan structure yang relatif berbeda, perseteruan dan polarisasi kekuatan dunia saat ini yang masih diwarnai oleh tarikan kepentingan ideologis antara Barat (AS dan Uni Eropa) dengan Timur (Rusia dan Tiongkok).
Selain rivalitas ideologis, dunia sekarang juga diwarnai oleh konflik berlatar sosial budaya, seperti konflik antaretnik, ras, dan agama. Untuk tidak menyebut semua, lihat apa yang terjadi di Myanmar. Etnik Rohingya yang muslim terusir dari Myanmar yang mayoritas Buddha.
Baca juga: Perlu Mahkamah Etik Atasi Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara
Di India yang mayoritas Hindu, konflik Hindu-Islam seolah tak berujung. Di tanah Arab, konflik inner Islam meluluhlantakkan banyak negara karena perang saudara. Pun di negara-negara Eropa dan Amerika yang mengeklaim diri sebagai garda terdepan pembela hak asasi manusia. Di negara-negara itu, tumbuh kelompok yang tak menghendaki kaum pendatang atau imigran. Bahkan, isu antiimigran itu menjadi senjata politik yang dimainkan oleh politisi tertentu untuk mengais simpati konstituen.
Paham antiimigran berakar pada rasa benci. Disadari bahwa konflik berlatar etnik, ras, dan agama bukan hanya fenomena politik, melainkan juga sosial-budaya. Ketika kebencian berlatar sosial-budaya marak, dibutuhkan saling pengertian. Saling menghormati dan saling mengerti hanya akan tumbuh di masyarakat yang toleran dan moderat.
Toleran, moderat, dan menghargai perbedaan ialah DNA manusia Indonesia yang telah berurat akar dalam perikehidupan leluhur ratusan tahun lamanya. Nilai toleran, moderat, dan menghargai keberagaman itu terpatri dalam satu kesatuan nilai Pancasila.
Baca juga: Benua Asia: Letak, Luas, dan Negara-Negara di Dalamnya
Sangat boleh jadi mungkin karena citra bangsa Indonesia yang toleran, moderat, dan hargai keberagaman itulah, UNESCO memberi anugerah Warisan Arsip Dunia untuk pidato Bung Karno di PBB tentang Pancasila pada 1960 dulu. Itu disebabkan nilai-nilai filosofis dari pidato Pancasila Bung Karno dinilai relevan bagi para pemikir dan akademisi untuk mempelajarinya.
Pengakuan terhadap pidato Bung Karno di PBB sebagai Warisan Arsip Dunia oleh UNESCO membuka ruang bagi diplomasi Indonesia untuk memperkenalkan Pancasila ke dunia internasional. Itulah yang dilakukan Megawati di Rusia: mempromosikan Pancasila sebagai ideologi perdamaian yang mengandung nilai-nilai common.
Pada konteks itulah, kunjungan Megawati ke Rusia bisa dimaknai sebagai muhibah ideologis karena mempromosikan Pancasila di panggung internasional. Megawati membawa pesan ideologis, bahwa Pancasila dengan nilai-nilai luhurnya bisa menginspirasi pemimpin dunia dalam mengelola tata dunia baru dengan mengedepankan nilai kemanusiaan, musyawarah, dan gotong royong.
Nilai kemanusiaan dalam sila ke-2 Pancasila sungguh relevan dengan diplomasi humanitarian. Musyawarah merupakan saripati sila ke-4 dan gotong royong intisari sila ke-3 sesuai dengan cara kerja PBB yang mengedepankan multilateralisme dan kerja sama antarbangsa dalam menangani masalah dunia.
Kedua, kunjungan ke Uzbekistan. Di Uzsbekistan Megawati berziarah ke makam ahli hadis Imam Bukhari. Makam itu menyimpan kisah manis dengan Indonesia, utamanya dengan Presiden Soekarno. Sejarah mencatat pada 1956 Bung Karno mendesak pemimpin komunis Uni Soviet (saat itu Uzbekistan masih bagian dari Uni Soviet) Presiden Nikita Khrushchev untuk menemukan kembali makam Imam Besar itu sebagai syarat kunjungannya ke Uni Soviet.
Bung Karno ingin agar umat Islam sedunia dapat berziarah dan menghormati jasa-jasa Imam Bukhari dalam syiar Islam. Sebuah permintaan yang berat karena saat itu Uni Soviet di bawah rezim komunis yang melarang kegiatan keagamaan semua agama, termasuk Islam. Namun, Bung Karno merupakan diplomat ulung yang lihai memainkan kartu politiknya sebagai negara besar yang berada di tengah tarikan dua kekuatan ideologi dunia.
Uni Soviet yang memang butuh teman dalam pertarungan ideologisnya dengan AS melihat permintaan Bung Karno itu bisa dipenuhi. Maka itu, makam Imam Bukhari diperbaiki dan masjidnya dibuka kembali untuk kegiatan keagamaan umat Islam. Hingga hari ini, makam itu menjadi objek wisata religi yang dikunjungi wisatawan dari mancanegara.
Kunjungan Megawati ke makam Imam Bukhari memutar balik memori kolektif umat Islam sedunia. Berkat campur tangan Bung Karno, makam itu dibuka kembali untuk umat Islam berziarah. Bisa dibayangkan, bagaimana mungkin pemerintah komunis yang anti-Tuhan bersedia memuliakan makam tokoh Islam yang dikagumi dunia, Imam Bukhari? Itu tidak lain karena Uni Soviet menghormati Indonesia.
Bamun, bagi Indonesia sendiri, desakan Bung Karno kepada Nikita Khrushcehev untuk memuliakan Imam Bukhari merupakan manifestasi nilai Ketuhanan yang terkandung dalam sila pertama Pancasila. Inilah sumbangsih Bung Karno yang sangat bersejarah terhadap dunia Islam. Ada benang merah sejarah menguntai mulai dari kunjungan Bung Karno ke Uni Soviet pada 1956, pidato Bung Karno di PBB pada 1960, dan kunjungan Megawati ke Rusia dan Uzbekistan pada 2024.
Kunjungan Megawati itu bukan sekadar persinggahan wisata religi. Lebih dari itu, kunjungan itu membawa aspirasi nilai yang secara simboli: dibawa selama kunjungannya di Rusia dan Uzbekistan: nilai common Pancasila yang sudah diakui PBB. Universalitas nilai Pancasila harus digaungkan dalam pergaulan internasional.
Alhasil, kunjungan Megawati ke Rusia dan Uzbekistan sejatinya ialah muhibah ideologis sebagai manifestasi komitmen Indonesia terhadap Pancasila sebagai falsafah, dasar, dan ideologi bangsa.