Meminimalkan Dampak Lingkungan dari Mimpi Hilirisasi
Pemerintah Indonesia gencar mendorong elektrifikasi kendaraan dengan penggunaan kendaraan listrik (EV) sebagai upaya mengurangi emisi karbon. Namun, isu keberlanjutan dan dampak lingkungan dari hilirisasi nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listriktidak bisa dikesampingkan.
Direktur Sumber Daya Energi Mineral dan Pertambangan Kementerian PPN/Bappenas Nizhar Marizi mengatakan agar semakin memperluas penggunaan kendaraan listrik, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No.55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electrical Automobile).
Baca juga: ASEAN harus Kolaborasi Kembangkan Industri Baterai Kendaraan Listrik
“Tujuannya kita ingin mengurangi emisi, dari sisi pemerintah dengan beralih tidak menggunakan minyak. Itu sekaligus juga menurunkan subsidi (bahan bakar minyak/BBM) yang semakin jadi beban. Penggunaan EV bisa membantu,” ujar dia dalam lokakarya bertajuk Indonesia-South Korea Partnership Inexperienced Partnership : Strategic Pathway within the EV Business yang diselenggarakan oleh The Korea Basis dan Indonesian Subsequent Technology Journalist Community on Korea, di Jakarta, kemarin.
Nizhar menuturkan hilirisasi menjadi salah satu schedule prioritas pemerintah. Bahkan, itu terangkum dalam visi-misi Presiden terpilih Prabowo Subianto yang disebut sebagai Asta Cita. Namun, tidak bisa dipungkiri, industri nikel memerlukan unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) untuk daya menjalankan smelter. Berdasarkan hasil perhitungan Global Assets Institute (WRI), terang Nizhar, hilirisasi nikel menghasilkan fuel rumah kaca yang besa sekitar 154,3 juta ton.
“Karena itu, kami memformulasikan roadmap untuk dekarbonisasi industri nikel. Salah satu tantangan terbesar ialah menggantikan PLTU. Kita sudah punya strategi menggantinya dengan fuel (hidrogen). Tetapi ini membutuhkan finansial dan infrastuktur yang besar sebab (cadangan migas) Masela belum sepenuhnya dikembangkan,” papar Nizhar.
Baca juga: Indonesia bakal Mulai Produksi Massal Baterai Kendaraan Listrik pada April
Ambisi pemerintah Indonesia untuk menjadi pusat industri baterai kendaraan listrik dibayangi dampak sosial seperti munculnya wilayah-wilayah kumuh di sekitar tambang nikel hingga konflik masyarakat yang ruang hidupnya terganggu akibat keberadaan tambang tersebut. Nizhar mengakui perlu ada evaluasi khususnya dalam hal pemberian izin, pengawasan, dan penerapan regulasi.
“ (Untuk) pencemaran (lingkungan) sudah ada baku mutunya, pengawasannya yang masih kurang termasuk dari sisi industri. Kita sedang diupayakan dengan pemerintah daerah (pemda) jangan sampai pemda dari sisi kewenangan tidak diberi mandat (terkait pengawasan dan perizinan),” papar dia.
Menurutnya Undang-Undang No.11/2020 tentang Cipta Kerja menarik kewenangan pemda dalam pemberian izin usaha pertambangan pada pemerintah pusat serta mereduksi pengawasan limbah oleh pemda. Hal ini dinilai menimbulkan masalah.
Baca juga: Luhut Bantah Harga Nikel Dunia Ambruk Gara-Gara Indonesia
“Pemda tidak memiliki infrastruktur dasar. Mencuatnya masalah limbah menjadi tantangan kita bagaimana menyiapkan pemda agar lebih bertanggung jawab tidak hanya menikmati manfaat ekonomi dari hilirisasi,” ujar Nizhar.
Sementara itu, perusahaan mobil asal Korea Selatan Hyundai Motors memprioritaskan pengembangan ekosistem industri kendaraan listrik dan baterai di Indonesia. Sebab, Indonesia diyakini dapat menjadi pasar sekaligus hub bagi industri baterai EV untuk ASEAN. PT. Hyundai LG Indonesia (HLI) Inexperienced Energy, di Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat, pada Juli 2024. Itu merupakan pabrik sel baterai EV yang pertama dan terbesar di Asia Tenggara.
Head of New Industry Division Hyundai Motors Asia Pasific Hendry Pratama menyampaikan pihaknya fokus pengembangkan ekosistem rantai nilai kendaraan listrik.
Baca juga: Indonesia dan Australia Jalin Kerja Sama Dorong Industri Kendaraan Listrik
“ Kami berkeinginan mengembangkan infrastruktur EV mulai dari stasiun pengisian baterai kendaraan elektrik, bagaimana daur ulang baterainya, hingga penanganan limbahnya,” ujar Hendry.
Masa pakai baterai mobil listrik secara umum berkisar antara 10–15 tahun. Setelah itu, akan menjadi limbah. Hendry mengatakan pihaknya tengah menggandeng akademisi serta universitas untuk menginisiasi pilot mission bagaimana mengelola limbah baterai kendaraan listrik.
“Upaya yang saat ini Tengah dilakukan juga tidak hanya pengembangan ekosistem kendaraan listrik tapi juga kendaraan berbahan bakar hidrogen sebagai salah satu solusi energi yang lebih hijau. Kami mengembangkan bus dan truk berbahan bakar hidrogen,” ungkapnya. (H-3)