Regulasi Perlindungan Perempuan Sia-sia Jika Implementasi Memble

Regulasi Perlindungan Perempuan Sia-sia Jika Implementasi Memble


Regulasi Perlindungan Perempuan Sia-sia Jika Implementasi Memble
Ilustrasi (freepik.com)

DIREKTUR Sarinah Institut, Eva Kusuma Sundari mengatakan bahwa sudah 20 tahun Indonesia memiliki aturan untuk melindungi warga negara dalam kasus kekerasan baik itu melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, sampai UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang peraturan pemerintahnya belum lengkap.

“Dalam momentum ini sepatutnya kita perlu mengevaluasi kasus kekerasan seksual yang sedang dialami oleh para perempuan Indonesia baik dewasa maupun anak-anak,” ungkapnya dalam Discussion board Diskusi Denpasar (FDD) 12 bertajuk Membangun Kesadaran Advokasi: Melawan Budaya Damai dan Menutup AIB, Rabu (16/10).

Dari information Kementerian PPPA tentang survei pengalaman hidup perempuan pada 2021, Eva menyoroti mengenai laporan adanya penurunan kasus KDRT. Tetapi information dari Mabes Polri menunjukkan ada peningkatan kekerasan yang dialami oleh perempuan sesuai dengan catatan atau laporan yang diterima oleh Kepolisian.

“Walaupun ternyata information yang masuk ke Kepolisian itu hanya 10% dari kasus yang ada. Jadi kita mengalami fenomena gunung es, karena hal yang kita ketahui hanya pucuknya saja tapi dalamnya kurang,” tegas Eva.

Di tempat yang sama, Komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani mengamini bahwa sudah banyak kebijakan yang dibuat untuk melindungi perempuan, akan tetapi kasus kekerasan terhadap perempuan terus terjadi dan meningkat.

“Ini menunjukkan ada beberapa hal yang perlu menjadi worry bersama untuk memastikan angka ini tidak terus melonjak dalam upaya untuk mengimplementasikan kebijakan perlindungan tersebut,” ujar Tiasri.

Dengan regulasi yang ada di Indonesia sampai saat ini yang dikatakan sebetulnya sudah cukup baik, sayangnya masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dan hal ini didasarkan pada kontribusi budaya patriarki terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia.

“Relasi kuasa ini cenderung menjadi akar persoalan dan melahirkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan baik di rumah, lingkungan kerja, pendidikan, masyarakat dan lainnya yang memicu kasus kekerasan terhadap perempuan,” jelasnya

Menurut Tiasri, dalam hal ini terjadi pula pemahaman agama yang bias gender, di mana perdebatan selalu berakhir dengan kepatuhan atau ketaatan perempuan kepada pasangannya, yang menjadi ruang dominasi relasi kuasa dalam statusnya yang cenderung menempatkan perempuan pada kerentanan menghadapi kekerasan berbasis gender.

“Kebijakan juga masih bias gender meskipun sudah ada untuk memenuhi perlindungan terhadap perempuan, tetapi ada kekurangan di mana terdapat peraturan daerah yang menempatkan perempuan pada objek kebijakan tersebut. Jadi perempuan tidak dijadikan sebagai subjek melainkan objek hukum,” urai Tiasri.

“Salah satu contohnya adalah peraturan daerah larangan jam malam bagi perempuan di Tangerang yang sempat heboh dan aturan itu sampai saat ini belum dicabut. Aturan ini juga berdampak pada kasus penangkapan perempuan yang akhirnya meninggal dunia saat dikejar Satpol PP atas dasar aturan tersebut,” sambungnya.

Dia menilai bahwa masih banyak aturan lain yang cukup merentankan perempuan dalam kasus diskriminasi dan melahirkan kasus kekerasan. Dampaknya terdapat marginalisasi di mana perempuan diletakkan pada kelas kelompok kedua dalam situasi kemiskinan dan marjinal.

Kemudian perempuan mengalami beban ganda di mana struktur budaya patriarki yang menempatkan perempuan dalam hubungan relasi kuasa dipertahankan dalam kerja domestik.

“Kemudian lahir kekerasan berbasis gender, pelabelan negatif atau stereotip, dan subordinasi. Dampak-dampak ini yang akhirnya menempatkan perempuan dalam lingkar kekerasan, kemiskinan, dan kerentanan lainnya,” ujarnya.

Tiasri menekankan bahwa terobosan hukum di dalam regulasi kebijakan yang ada tidak akan bisa memberikan jaminan keadilan yang bisa diakses oleh korban jika implementasinya tidak dilakukan dengan baik. Kasus-kasus ini akan terus meningkat jika seluruh pihak tidak memiliki dukungan terhadap korban dan juga tidak memberikan edukasi penyadaran kepada masyarakat.

“Sehingga sangat penting selain mendorong implementasi UU juga membangun perspektif dukungan aparat penegak hukum dalam penanganan kasusnya, serta dalam upaya pencegahannya, pelibatan publik menjadi sangat penting agar memiliki kesadaran, pemahaman, pengetahuan tentang kasus kekerasan berbasis gender baik itu kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, kekerasan di dunia pendidikan, kekerasan di tempat kerja, sehingga kesadaran ini bisa menjadi kekuatan bersama untuk terus menguatkan upaya pencegahan agar kita tidak terus berkutat pada peningkatan kasus yang terjadi,” tegas Tiasri. (H-2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *