Kasus Zarof Ricar Jadi Momentum Bersih-bersih Hakim Agung

Kasus Zarof Ricar Jadi Momentum Bersih-bersih Hakim Agung


Kasus Zarof Ricar Jadi Momentum Bersih-bersih Hakim Agung
Barang bukti uang yang diduga hasil suap yang ditemukan saat penggeledahan di kediaman Zarof Ricar(MI/Ficky)

BEKAS kantor Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar (ZR) menerima suap dalam pengurusan vonis kasasi terdakwa Gregorius Ronald Tannur. Peristiwa ini diharapkan menjadi momentum untuk bersih-bersih MA dari hakim nakal.

“Ya sekali lagi bahwa tentu ini menjadi momentum untuk bersih-bersih dari MA. Bahwa cukuplah kan pengadilan itu tempat untuk mencari keadilan,” kata anggota Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Pencegahan Korupsi Mabes Polri Yudi Purnomo Harahap kepada Metrotvnews.com, Minggu, 27 Oktober 2024.

Terlebih, kata Yudi, pemerintah tengah memperhatikan kesejahteraan hakim dengan menaikkan gaji dan tunjangannya. Kenaikan gaji dan tunjangan para hakim berada di bawah Mahkamah Agung tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2024, yang ditandatangani Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) pada 18 Oktober 2024.

Sementara itu, mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini menekankan paling penting adalah mengapresiasi prestasi Kejaksaan RI dalam memberantas korupsi. Dia memandang Korps Adhyaksa semakin tajam. Hal ini diperlukan untuk memberantas mafia hukum.

“Sekali lagi, mafia hukum bergerak di ruang gelap, mereka bermain perkara supaya yang punya uang bisa untuk dimenangkan, sementara yang tidak punya uang tentu dia harus kalah. Praktik seperti ini tidak boleh dibiarkan karena nantinya hukum akan seperti pisau tajam ke bawah tumpul ke atas,” ungkap Yudi.

Yudi menyadari mafia hukum membuat yang mempunyai uang menang di peradilan. Dia prihatin kembali terjadi kasus korupsi di pengadilan yang dilakukan oleh hakim. Terlebih, bukan hanya satu atau dua, tapi tiga orang hakim kena operasi tangkap tangan (OTT) oleh Kejaksaan usai memvonis bebas seorang terdakwa pembunuhan, Ronald Tannur.

“Yang berdasarkan bukti-bukti seharusnya sudah jelas bahwa dia merupakan seorang pembunuh. Namum, kemudian divonis bebas karena ada uangnya,” ucap Yudi.


Yudi mengatakan pelanggaran ketiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya itu terbukti dari putusan Komisi Yudisial (KY) ketika investigasi terkait dengan pelanggarankode etik. KY merekomendasikan ketiga hakim PN Surabaya itu dipecat. Mereka ialah Erintuah Damanik (ED) sebagai Hakim Ketua, Mangapul (M), dan Heru Hanindyo (HH) sebagai hakim anggota dalam perkara Ronald Tannur.

“Bahkan, MA sendiri menganulir keputusan mereka, terkait dengan putusan mereka dianulir dinyatakan bersalah Ronald Tannur walaupun hukumannya 5 tahun ya. Sementara, kalau Kejaksaan 12 tahun, tapi tentu ini akan ditelurusi berikutnya ya,” kata Yudi.

Benar saja, dalam penelusuran putusan kasasi itu, eks pejabat MA Zarof Ricar kedapatan menerima suap dari pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat (LR). Bahkan, saat penggeledahan di kediamannya ditemukan uang tunai hampir Rp1 triliun dan emas 51 kg.

“Yang diduga merupakan hasil mafia hukum untuk memenangkan suatu perkara selama 10 tahun. Tentu ini membuktikan bahwa hukum masih bisa dibeli, bahwa hukum bukan terang benderang yang ada di pengadilan dalam proses peradilan, hukum acara yang bisa dilihat publik, tapi ternyata di balik itu ada uang suap yang mengalir untuk mempengaruhi putusan hakim,” tutur Yudi.


Yudi menuturkan berdasarkan statistik KPK sudah ada 31 hakim yang ditangkap kasus korupsi. Penangkapan hakim oleh Kejaksaan dinilai memperlihatkan tidak ada efek jera. Sebab, kata Yudi, kewenangan para hakim begitu besar. Hal itu tergambar dari barang bukti uang tunai hampir Rp1 triliun disita dari mantan Kepala Diklat peradilan MA, Zarof Ricar.

Bahkan, Yudi menduga uang yang diterima Zarof lebih banyak dari penyitaan. Besar kemungkinan uang haram itu sudah ada yang digunakan.

“Artinya, sekali lagi kan sudah banyak yang ditangkapi seperti di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung dengan berbagai macam contoh kasus. Namun, ya sekali lagi tidak ada efek jera di situ karena hakim-hakim merasa ya mereka independen dan ketika ada kasus mereka lah yang menangani, sehingga kalau hakimnya tidak berintegrasi ya tentu mereka akan korup,” beber Yudi.

Upaya korupsi itu dinilai tidak hanya dilakukan oleh hakim saja, melainkan juga perantara. Seperti di pengadilan yang menjadi perantara bisa seorang pengacara.


“Sementara, kita tahu bahwa ketika di pengadilan orang kan kalau dipidana ingin bebas ya atau hukumannya ringan atau kalau dalam perdata ya tentu ingin menang, sehingga mendapatkan kompensasi berapa miliar misalnya tergantung dengan perkaranya,” ungkap mantan ketua wadah pegawai KPK itu. (Yon)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *