Pemerintah Diminta Pertimbangkan Ulang Proyek DME Investasi Danantara


Ilustrasi tambang batu bara. Foto: Shutterstock
Ilustrasi tambang batu bara. Foto: Shutterstock

Middle of Financial and Regulation Research (CELIOS) menilai pemerintah perlu mempertimbangkan ulang proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME), karena hanya akan memboroskan uang negara.

Direktur Eksektufi CELIOS, Bhima Yudhistira, mengatakan banyak faktor yang membuat proyek DME tidak masuk secara keekonomian, apalagi jika didanai oleh investasi Danantara Indonesia.

"Diharapkan pemerintah menimbang ulang untuk DME ini. Apalagi pakai dana Danantara, Danantara dari efisiensi APBN sebagian. Jadi menurut saya ini buang-buang uang negara," tegasnya saat dihubungi kumparan, Minggu (9/3).

Bhima menambahkan, proyek DME juga akan menghambat proses transisi energi, sebab eksploitasi pertambangan batu bara akan terus berlanjut semakin masif. Hal ini bertentangan pula dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto.

"Kita ingin ada upaya untuk fase batubara turun hingga 2040 sesuai skenario dari Prabowo di discussion board G20 itu. Jadi kalau arahnya malah hilirisasinya batu bara enggak tepat," tuturnya.

Alih-alih hilirisasi batu bara, Bhima menyebutkan masih banyak proyek hilirisasi lain yang bisa difokuskan pemerintah, misalnya sektor perkebunan dan pertanian. Hilirisasi mineral, seperti nikel, juga dinilai lebih strategis.

Berdasarkan kajian CELIOS, dia mengungkapkan proyek DME juga berpotensi mengikis pendapatan negara dari royalti batu bara hingga Rp 33,8 triliun in line with tahun. Sebab, menurut UU Cipta Kerja, batu bara yang dialokasikan untuk proyek ini bisa mendapatkan 0 persen royalti.

Ilustrasi tambang batu bara. Foto: Shutterstock
Ilustrasi tambang batu bara. Foto: Shutterstock

"Ujungnya kan negara kasih insentif, insentifnya royalti 0 persen, berarti ada kehilangan tuh Rp 33,8 triliun estimasinya in line with tahun," jelas Bhima.

Selain itu, lanjut Bhima, proyek gasifikasi batu bara ini minim diminati investor. Hal ini dibuktikan dengan hengkangnya perusahaan AS Air Merchandise dari produk DME di Tanjung Enim, Sumatera Selatan.

Hal ini disebabkan biaya investasi awal yang mahal dan membutuhkan off Taker atau pembeli fuel yang dihasilkan dari batu bara tersebut, yang digadang-gadang menjadi substitusi LPG.

Bhima menjelaskan, hal ini juga dipersulit dengan kondisi pertambangan batu bara Indonesia yang mayoritas yang terbuka alias membuka pit. Proyek DME akan lebih mudah di pertambangan menutup lubang.

"Seperti di China itu kan ada juga tambang batu baranya menutup pit, jadi bisa ditangkap gasnya. Jadi spesifikasi tambangnya pun juga berbeda," pungkasnya.

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menghidupkan lagi proyek DME batu bara. Rencana itu diungkap Menteri ESDM Bahlil Lahadalia usai rapat di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (3/3) malam.

"Kami juga ingin membangunkan DME yang mulai dari batubara rendah (rendah) kalori sebagai substitusi daripada LPG. Ini kita lakukan agar produknya bisa dipasarkan sebagai substitusi impor," kata Bahlil.

Katanya, saat ini pemerintah tidak butuh investor baru. Arahan Prabowo, akan memanfaatkan sumber dari dalam negeri semua.

"Yang kita butuh dari mereka cuma teknologinya, hari ini teknologi kita butuh, uang capex (modal) dari pemerintah, swasta nasional. Bahan baku dari kita, offtaker kita juga. Jadi enggak ada lagi ketergantungan dengan pihak lain," jelasnya.

Untuk modalnya, Bahlil menyebut akan dibiayai dari Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara yang baru berdiri. Lokasi proyek DME yang akan dikembangkan ada di Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dam Kalimantan Selatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *