Orang-orang di Balik Penangkapan Duterte: Senator, Pendeta, hingga Ahli Forensik



Presiden Filipina, Rodrigo Duterte. Foto: Ted ALJIBE / AFP

Rodrigo Duterte menghadapi dakwaan kejahatan kebijakan perang terhadap narkoba yang dilakukan saat menjabat presiden.

Eks Presiden Filipina itu dibawa ke Den Haag, Belanda, pada Senin (11/3) malam.

Bagi sebagian orang, ini mengejutkan. Namun, bagi mereka yang bertahun-tahun mengumpulkan bukti, menghadapi ancaman, dan menolak bungkam, ini adalah puncak perjuangan panjang mencari keadilan.

Di balik momen ini, ada orang-orang yang bekerja tanpa sorotan: pendeta yang melindungi keluarga korban, senator yang berani menantang Duterte sejak awal, ahli patologi forensik yang membongkar manipulasi laporan kematian, serta jurnalis dan kerabat yang tak lelah mencari bukti. Siapa mereka?

Proyek Pastor Flaviano Villanueva dan Dr. Raquel Fortun

Ahli patologi forensik Raquel Fortun memeriksa jenazah Constantino de Juan yang digali di kamar mayat Universitas Filipina. Foto: Eloisa Lopez/REUTERS

Mengumpulkan WaliPastor Flaviano Villanueva adalah sosok yang melihat bagaimana keluarga korban perang narkoba Duterte ketakutan. Gereja menjadi tempat berlindung bagi mereka yang kehilangan anak, suami, atau saudara.

Bersama ahli patologi forensik, Dr. Raquel Fortun, Flaviano meluncurkan Mission Stand up untuk menggali kembali jenazah korban yang dikubur sementara.

Keluarga korban hanya mampu menyewa kuburan dalam waktu singkat. Saat sewa habis, jenazah harus dipindahkan. Flaviano dan Fortun melihat ini sebagai peluang. Dengan izin keluarga, mereka menggali tubuh-tubuh yang tersembunyi dalam laporan kematian yang penuh manipulasi.

Fortun menemukan kejanggalan dalam banyak kasus: peluru yang masih tertinggal di tubuh korban, otopsi asal-asalan, dan surat kematian yang menyebut penyebab alami. Temuannya memperkuat pola sistematis pembunuhan di luar hukum oleh aparat.

“Kami menemukan bagaimana mereka bekerja—modus operandi yang berulang,” kata Flaviano.

Mantan senator Filipina dan pegiat hak asasi manusia Leila de Lima. Foto: JAM STA ROSA / AFP

Leila de Lima adalah satu dari sedikit politisi Filipina yang berani menantang Duterte. Saat menjabat ketua komite keadilan Senat, ia menyelidiki gelombang pembunuhan yang terjadi sejak 2016.

Duterte merespons dengan serangan balik. Ia mempermalukan De Lima di depan publik, lalu menjeratnya dengan tuduhan narkoba yang akhirnya terbukti tidak berdasar. Enam tahun ia mendekam di penjara.

Ketika akhirnya bebas pada 2024, De Lima masih meyakini keadilan akan menang.

“Saya tahu kebenaran akan terungkap,” katanya, seperti diberitakan Wali.

Ia melihat penangkapan Duterte sebagai bukti suara para korban tidak bisa terus dibungkam.

Randy delos Santos meletakkan guci berisi abu korban di Manila, Filipina, Rabu (12/3/2025). Foto: JAM STA ROSA / AFP

Bagi Randy delos Santos, kabar penangkapan Duterte bukan sekadar berita. Ini adalah harapan baru.

Keponakannya, Kian delos Santos, 17 tahun, tewas di gang sempit di Caloocan, ditembak aparat dalam operasi anti-narkoba. Polisi mengeklaim Kian melawan, tetapi bukti menunjukkan sebaliknya.

Kematian Kian memicu protes besar, menjadikannya salah satu dari sedikit kasus yang berujung pada hukuman bagi polisi pelaku penembakan.

Namun, perjalanan mencari keadilan itu berat. Randy menghabiskan tabungan, menjual barang-barang, dan sering hanya makan pisang goreng demi bisa bolak-balik ke pengadilan.

“Beban ada pada kita untuk menemukan bukti,” katanya.

Kini, ia terus mendukung keluarga korban lain, bekerja dengan Pastor Flaviano di yayasan yang membantu mereka yang kehilangan anggota keluarga dalam perang narkoba Duterte.

Ia siap bersaksi di ICC jika diperlukan.

“Saya sudah memaafkan Duterte, tapi dia harus bertanggung jawab,” tegasnya.

Pengacara dari mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte, Salvador Medialdea menyampaikan paparan saat sidang dakwaan di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), Den Haag, Belanda, Jumat (14/3/2025). Foto: Peter Dejong/Pool by way of Reuters

Fotografer Raffy Lerma ingat betul malam pertama ia meliput pembunuhan dalam perang narkoba Duterte. Saat itu, warga sekitar bukannya terkejut atau berduka—mereka mencibir korban.

“Tidak ada empati. Saya tahu ada sesuatu yang berubah,” katanya.

Bersama kelompok jurnalis, Lerma mendokumentasikan malam-malam berdarah di Manila. Salah satu fotonya yang paling terkenal menunjukkan seorang wanita menangis sambil memeluk pasangannya yang baru ditembak mati.

Di tengah arus berita palsu yang menyangkal jumlah korban sebenarnya, foto-foto Lerma menjadi bukti tak terbantahkan.

“Orang-orang bertanya apakah ini benar-benar terjadi. Saya tunjukkan foto-foto saya dan berkata, ‘Saya ada di sana,’” ujarnya.

Dengan Duterte dalam tahanan, para aktivis berharap ICC tidak berhenti, tetapi juga mengejar pejabat tinggi lainnya yang berperan dalam perang berdarah ini.

“Jangan berhenti di sini,” kata Randy delos Santos.

“Keputusan ada di tangan pengadilan. Kami hanya ingin keadilan.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *