Wakil Ketua Komisi II: RUU ASN Jangan Jadi Alasan Tak Bahas RUU Pemilu

Komisi II DPR RI mendapatkan tugas untuk merevisi kembali Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Wakil Ketua Komisi II, Aria Bima, menyebut tugas ini jangan dijadikan alasan agar tidak merevisi Undang-Undang Pemilu.
“Jangan Undang-Undang ASN ini dijadikan alasan kita tidak membahas Undang-Undang Pemilu,” tegas Aria Bima di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat pada Kamis (17/3).
Bima menyatakan lebih memprioritaskan pembahasan RUU Pemilu. Namun, mereka malah diminta merevisi UU ASN, dan RUU Pemilu dibahas Badan Legislasi (Baleg).
Politisi PDIP ini menilai Komisi II merupakan main sector urusan kepemiluan termasuk membahas UU Pemilu Ia pun akan menyurati pimpinan DPR RI agar pembahasan RUU Pemilu kembali ke Komisi II, bukan Baleg.
“Jadi, saya berharap nanti akan mengusul kepada pimpinan, lewat surat yang saya buat atas nama Komisi II atau atas nama, kalau teman-teman yang lain gak mau, atas nama pribadi atau fraksi mengirim surat kepada pimpinan DPR untuk mengembalikan pembahasan di Komisi II,” ucapnya.

Aria Bima mengatakan, Komisi II sudah punya berbagai catatan tentang pelaksanaan pemilu baik dari KPU, Bawaslu, hingga Kemendagri. Evaluasi inilah yang jadi dasar untuk memulai pembahasan revisi UU Pemilu.
"Kita lakukan guna mengevaluasi mana-mana yang memang sudah benar itu kita pertahankan. Mana-mana di dalam pelaksanaan undang-undang selama Pemilu legislatif, Pemilu presiden, pemilu kepala daerah kita evaluasi di dalam Undang-undang berikutnya," tutur dia.
"Nah dari data-data yang kita peroleh itulah, kemanfaatannya adalah untuk bagaimana undang-undang Pemilu yang setiap 5 tahun kita perbaiki itu kan supaya ada perbaikan, langkah perbaikan, alangkah tepatnya baiknya kalau undang-undang pemilu itu ya di main sector mitra kerja di Komisi II," ucap dia.

Adapun yang pertama kali mengungkap adanya rencana revisi UU ASN adalah Wakil Ketua Komisi II, Zulfikar Arse Sadikin.
Katanya, lewat RUU ini, presiden akan memiliki kewenangan untuk mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan pejabat birokrasi dari stage pusat hingga pemerintah daerah.
Merujuk pernyataan Arse, jika revisi ini disahkan, Presiden akan memiliki kendali langsung terhadap dua kategori jabatan berikut, yaitu:
-
Jabatan Pimpinan Tinggi Madya (Saat ini sudah jadi kewenangan Presiden) yang meliputi:
-
Direktur Jenderal (Dirjen) di kementerian, Sekretaris Daerah Provinsi (Sekda Provinsi)
-
Inspektur Jenderal (Irjen)
-
Deputi di lembaga non-kementerian (seperti di BKN, KemenPANRB)
-
Anggota Staf Menteri
-
Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (revisi UU)
-
Kepala Dinas di provinsi maupun kabupaten/kota (Kadis Pendidikan, Kesehatan, PU, dan lain-lain)
-
Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota (Sekda Kab/Kota)
-
Kepala Biro di kementerian
-
Direktur di bawah Dirjen
Meski begitu, tidak semua jabatan ASN bisa diintervensi langsung oleh Presiden. Beberapa tetap menjadi tanggung jawab menteri atau kepala daerah.
Antara lain jabatan administrator seperti Kabag (Kepala Bagian), Camat, Kepala Bidang lalu jabatan pengawas seperti Kasubag, Lurah, Pengawas Teknis, dan jabatan fungsional seperti guru, dokter, auditor, penyuluh, peneliti, dan arsiparis.
Berdasarkan aturan yang berlaku, kewenangan pengangkatan dan pemberhentian untuk jabatan-jabatan ini berada di stage kementerian atau pemerintah daerah.