Lantunan Doa di Tengah Sunyi: Suasana Ibadat Jumat Agung di Gereja Katedral

Udara siang itu terasa berbeda. Matahari memang bersinar seperti biasa, tapi di halaman Gereja Katedral Jakarta, Jumat (18/4) ada yang lebih hangat: kesungguhan hati yang datang membawa doa dan duka atas wafat Sang Juru Selamat.
Sejak pukul 11.30 WIB, langkah-langkah penuh khidmat mulai memasuki pelataran gereja. Jemaat Katolik berdatangan satu according to satu—ada yang berjalan perlahan dengan rosario di tangan, ada pula yang bergegas, seolah tak ingin terlambat menyambut detik-detik kudus dari Ibadat Jumat Agung.
Panitia yang berjaga dengan ramah namun sigap memeriksa setiap tas yang dibawa jemaat, menjaga keamanan tanpa mengusik kekhusyukan. Mereka lalu mengarahkan para peziarah jiwa itu menuju bangku-bangku ibadat, tempat di mana lara dan harap akan bergema bersama.

Tepat pukul 12.00 WIB, lonceng gereja berdentang pelan. Arak-arakan Romo Edy Mulyono S.Y dan Romo Macarius Maharsono S.Y perlahan memasuki ruangan utama. Tak ada gemuruh tepuk tangan, tak ada sorak-sorai—hanya kesunyian, penuh hormat.
Sebelum ibadah dimulai, seluruh gereja dengan orang -orang Romawi tertunduk di depan altar. Sujud yang bukan hanya sebuah gerakan, tetapi juga simbol penyerahan, kesedihan, dan cinta yang mendalam kepada Kristus yang disalibkan.

Ibadat Jumat Agung di Katedral ini dibagi menjadi tiga sesi: pukul 12.00 WIB, 15.00 WIB, dan 18.00 WIB. Namun dalam setiap sesi itu, kisah yang dihidupi tetap satu: kisah pengorbanan. Kisah kasih yang menebus dosa dunia.
Tak ada pujian meriah hari ini. Tak ada warna-warni sukacita. Tapi justru dalam kesederhanaan, dalam hening, dan dalam duka, Jumat Agung menjelma menjadi momen indah: saat manusia dan Tuhannya bertemu dalam luka dan pengharapan.