Para Nelayan yang Hidup Bergantung pada Laut dan Hutan Mangrove di Bali


Suasana Ekowisata Mangrove Batu Lumbang. Foto: Denita BR Matondang/kumparan
Suasana Ekowisata Mangrove Batu Lumbang. Foto: Denita BR Matondang/kumparan

Wayan Pasek Pastika (60) tertidur pulas saat angin yang berembus sepoi-sepoi dan kemerduan suara burung bangau di sebuah balai di pinggir hutan mangrove di Jalan Tanah Kilap, Desa Pemogan, Kota Denpasar, Bali, Sabtu (17/5).

Balai ini menjadi salah satu tempat istirahat para nelayan sekaligus kantornya mengelola hutan mangrove yang diresmikan sebagai objek wisata alam atau ekowisata tahun 2023 lalu. Objek wisata ini dinamai Ekowisata Mangrove Batu Lumbang.

Sebanyak 47 nelayan, termasuk Pastika yang menjabat sebagai manajer, menggantungkan hidup pada laut dan hutan di kawasan konservasi mangrove ini. Mereka menamai diri sebagai Kelompok Nelayan Segara Guna Batu Lumbang.

Turis asing menyusuri kawasan hutan mangrove. Foto: Dok. Ekowisata Mangrove Batu Lumbang
Turis asing menyusuri kawasan hutan mangrove. Foto: Dok. Ekowisata Mangrove Batu Lumbang

"Kami membentuk kelompok ini awalnya untuk merawat kawasan mangrove mengingat dulu sebelum tahun 2005 banyak ditemukan penangkapan ikan tak ramah lingkungan," katanya usai bangun dari tidurnya kepada Kumparan, Sabtu (17/5).

Para nelayan membutuhkan 18 tahun merancang dan mendapatkan izin untuk mengelola ekowisata hutan mangrove itu dari UPT Tahura Ngurah Rai. Puluhan tahun mereka mengawasi para penangkapan ikan tak ramah lingkungan dan membersihkan sampah-sampah kiriman yang mencemari laut dan mengotori kawasan mangrove.

Tubuh yang tua dan renta tak begitu sanggup setiap hari pergi melaut meninggalkan keluarga. Mereka kini melanjutkan hidup sebagai nelayan, pemandu wisata sekaligus penjaga di hutan mangrove ini dan digaji.

"Kalau hari-hari biasa nelayan melaut, kalau hari weekend menjadi pemandu wisata," katanya.

Niat para nelayan tak cuma meraup cuan dari ekowisata hutan mangrove. Mereka memberi edukasi tentang hutan mangrove dan bahaya sampah bagi lautan kepada turis saat menyusuri kawasan hutan kepada turis.

Para turis ditawarkan mengadopsi mangrove, membersihkan kawasan hutan mangrove, mengelola sampah berbasis organik hingga edukasi pengelolaan hasil tanaman mangrove.

Mengadopsi mangrove artinya membeli bibit mangrove dan meminta nelayan mengontrol pertumbuhan serta menjaga pohon mangrove tersebut. Adopsi ini biasanya dilakukan secara berkelompok oleh turis.

Suasana Ekowisata Mangrove Batu Lumbang. Foto: Denita BR Matondang/kumparan
Suasana Ekowisata Mangrove Batu Lumbang. Foto: Denita BR Matondang/kumparan

"Orang selama ini banyak menanam mangrove tapi tidak merawat kan sama saja, sehingga kami membuat paket adopsi itu. Pengunjung membayar kami untuk merawat dan mengontrol tanaman. Kami laporkan setiap bulan bagaimana perkembangan pertumbuhan mangrove-nya," katanya.

Edukasi pengelolaan tanaman mangrove berkaitan dengan pemanfaatan buah dan daun di Hutan mangrove. Buah dari tanaman lindur bisa dijadikan tepung. Warga pesisir biasanya menjadikan buah lindur sebagai pengganti makanan pokok, seperti nasi dan singkong.

Ada juga buah pidada, yang biasanya bisa dijadikan jus atau rujak. Rasa buah pidada agak asam dan penuh kandungan diet C. Nelayan tidak memproduksi buah dan bunga ini menjadi industri bahan pangan agar hutan mangrove tak dieksploitasi.

Mereka juga tak membangun infrastruktur tambahan, terutama beton dan merambah hutan untuk mennunjang fasilitas ekowisata. Kelompok berusaha menjaga hutan mangrove tetap alami dan ekosistem laut terjaga.

Perhatian para nelayan terhadap hutan mangrove menarik hati lembaga pemerhati lingkungan. Para nelayan ini ditawarkan insentif sekitar Rp 1 juta in keeping with bulan untuk mengumpulkan sampah laut sekitar 600 kilo in keeping with bulan.

"Kami juga tidak banyak melakukan promosi agar turis yang datang overkapasitas sehingga nantinya malah mencemari laut atau kawasan hutan," katanya.

Tantangan terkini bagi Wayan Pasek Pastika adalah minimnya minat anak muda menjadi nelayan dan petani di tengah generation digitalisasi dan pesatnya perkembangan pariwisata di Bali. Kelompok kini membentuk kelompok nelayan muda untuk meneruskan tradisi melaut dan menjaga ekowisata ini.

Untuk informasi, turis bisa menyewa kano atau perahu mulai dari Rp 35 ribu untuk menyusuri hutan mangrove seluas 1.373 hektare ini. Harga ini belum termasuk untuk turis asing dan biaya pemandu wisata.

Ekowisata Mangrove Batu Lumbang biasanya melayani sekitar 1.600 turis in keeping with bulan. Paling banyak anak sekolah dan turis asing.

Para turis biasanya tak sekedar menyusuri hutan mangrove. Ada juga yang memanfaatkan kawasan ini untuk memancing. Salah satu di antara adalah warga bernama Rico Ardianta Nanda (21).

Dalam tiga bulan terakhir, pekerja serabutan di sebuah restoran ini memilih memancing setiap akhir pekan di Ekowisata Mangrove Batu Lumbang untuk menikmati keheningan dan menjernihkan pikiran dari hiruk pikuk ibu kota.

Dia biasanya memancing bersama dua orang temannya selama 3-4 jam menyusuri hutan mangrove. Laut biasanya menyediakan kepiting, udang, ikan kuwe, ikan cakalang, ikan belanak, baramundi, dan ikan jack predator.

"Hobi memang mancing ya untuk therapeutic gitu dan memilih di sini bagus spotnya ya bagus, pemandangannya juga indah, airnya dan kawasannya bersih dan lautnya juga tenang," katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *