Kisah Dani, Sinyal Hidup Penjaga Nyawa di Perlintasan Sebidang Roxy



Potret Dani (57), warga sekitar perlintasan sebidang Roxy yang pegang peran necessary untuk memperingati pemotor yang menyeberangi rel akan kedatangan kereta dengan bendera oranyenya, Jumat (23/5/2025). Foto: Thomas Bosco/kumparan

Siang itu terik menyengat, di perlintasan sebidang Jalan Kyai Tapa, Roxy, Jakarta Pusat. Tiba-tiba, rel berderak, dan kereta KRL muncul berjalan dari arah Stasiun Tanah Abang.

Sesaat itu juga, bendera oranye dikibarkan tinggi di pinggir rel yang menikung itu. Di sisi jalan, puluhan sepeda motor berhenti. Patuh menunggu sinyal dari seorang pria yang mengibarkan bendera itu.

Pria itu adalah Dani (57), warga Jalan Setia Kawan, Duri Pulo. Siang itu, Dani tengah menjalankan tugasnya di shift kedua: pukul 11.00 hingga 16.00 WIB.

Sehari-harinya, ia adalah sinyal hidup yang menjaga keselamatan para pengendara motor yang melintasi jalur ini—sebuah perlintasan kereta api tanpa palang, tanpa sirine, dan tanpa petugas resmi.

“Tiga orang kita, jam 6 sampai jam 11, terus jam 11 sampai jam 4, lanjut jam 4 sampai jam 9 malam,” ujarnya kepada kumparansaat ditemui di sebuah bedeng sederhana yang ia sebut “pos jaga”.

Potret Dani (57), warga sekitar perlintasan sebidang Roxy yang pegang peran necessary untuk memperingati pemotor yang menyeberangi rel akan kedatangan kereta dengan bendera oranyenya, Jumat (23/5/2025). Foto: Thomas Bosco/kumparan

Mata Dani tak pernah lepas dari jalur rel, terutama ke arah Stasiun Tanah Abang. Sebab posisi jalur di sisi selatan yang menikung membuat kedatangan kereta dari arah tersebut tak bisa terlihat dari perlintasan.

Inilah yang membuat tugasnya begitu necessary.

Sudah enam tahun Dani menjalani peran sebagai penjaga tak resmi. Ia menyebutkan bahwa tak ada lembaga yang menugaskannya. Tugas itu muncul murni atas inisiatif warga sekitar untuk mencegah kecelakaan, yang beberapa tahun lalu sempat menjadi alasan rencana penutupan perlintasan.

Penampakan perlintasan sebidang Roxy yang memotong Jalan Kyai Tapa, Cideng, Gambir, Jakarta Pusat, pada Jumat (23/5/2025). Foto: Thomas Bosco/kumparan

“Pekerjaan yang sama patah,” kata Dani, merujuk pada empat warga lain yang berjaga langsung di perlintasan sambil menampung donasi sukarela dari pengendara. Hasilnya dibagi rata. “Rp 120 ribu sehari. Dicukup-cukupin,” tambahnya.

Meski begitu, Dani bisa sedikit berbangga. Selama ia menjaga, jarang ada kecelakaan terjadi.

“Enggak ada, enggak pernah. Paling keserempet. Paling orang, major hp. Kalau motor belom,” ucap Dani.

Keselamatan pengendara inilah yang harus dijaga Dani. Sebab, jika ada satu insiden saja, Dinas Perhubungan akan menutup general perlintasan tak resmi ini.

Bukan Jalur Resmi, Tapi Favorit Pemotor

Perlintasan sebidang di Roxy ini bukanlah jalur resmi. Secara aturan, kendaraan tak seharusnya melewati titik ini. Rambu larangan pun sudah terpasang, tapi seolah tak punya daya. Setiap menit, ratusan motor tetap melintasinya, menghindari jalur resmi yang ada di atasnya: Flyover Jalan KH Hasyim Ashari.

Ironisnya, perlintasan yang berisiko ini juga tetap dipetakan oleh Google Maps sebagai rute tercepat. Baik pengendara maupun algoritma seolah sepakat—jalur ini lebih efisien, meski ilegal dan tanpa perlindungan.

Penampakan perlintasan sebidang Roxy yang memotong Jalan Kyai Tapa, Cideng, Gambir, Jakarta Pusat, pada Jumat (23/5/2025). Foto: Thomas Bosco/kumparan

Warga setempat menuturkan, dulu jalur ini bisa dilewati mobil. Tapi karena sering terjadi kecelakaan, di technology Gubernur Joko Widodo sempat berniat menutup general akses ini. Langkah Jokowi itu diprotes warga.

Akhirnya, perlintasan tak ditutup, hanya dipersempit menjadi empat celah sempit yang hanya bisa dilalui motor: dua arah ke Grogol, dua ke arah Harmoni.

Penampakan perlintasan sebidang Roxy yang memotong Jalan Kyai Tapa, Cideng, Gambir, Jakarta Pusat, pada Jumat (23/5/2025). Foto: Thomas Bosco/kumparan

Dani tinggal bersama tiga anaknya. Ia mengaku kerap berpapasan dengan petugas PT KAI, namun selama ini tak ada larangan.

“PJKA suka lewat. Cuma bilang doang. Kaga pernah melarang,” ujarnya sambil tersenyum tipis.

Hingga kini, perlintasan itu tetap hidup—bukan karena sistem, tapi karena komunitas. Bukan oleh alat otomatis, tapi oleh bendera oranye di tangan Dani. Di antara rel dan debu kota, ia berdiri sebagai sinyal hidup, berharap tak ada nyawa yang melayang sia-sia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *