Menteri LH: 3 Perusahaan Nikel Melanggar di Raja Ampat Kecuali PT Gag

Pemerintah mencatat terdapat 3 perusahaan nikel yang melakukan pelanggaran dalam aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Meski begitu, PT Gag Nikel yang merupakan anak usaha PT Aneka Tambang (Persero) atau Antam (ANTM) tidak termasuk dalam perusahaan nikel yang melakukan pelanggaran.
Untuk itu Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq sudah memastikan izin 3 perusahaan yang dimaksud telah dihentikan sementara. Menurut Faisol, 3 perusahaan tersebut terindikasi melakukan pelanggaran serius di sisi lingkungan.
“Secara fisik memang ada 3 kegiatan di sana yang sedang kita lakukan pengawasan, jadi ketiga-tiganya kita sudah tadi kita hentikan, karena memang ada pelanggaran yang serius, ada yang jebol, ada yang seperti itu," kata Faisol, Minggu (8/6).
Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, terdapat lima perusahaan tambang yang memiliki izin resmi untuk beroperasi di wilayah Raja Ampat. Dua perusahaan memperoleh izin dari Pemerintah Pusat, yaitu PT Gag Nikel dengan izin Operasi Produksi sejak tahun 2017 dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP) dengan izin Operasi Produksi sejak tahun 2013.
Sementara perusahaan lainnya memperoleh izin dari Pemerintah Daerah (Bupati Raja Ampat), yaitu PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) dengan IUP diterbitkan pada tahun 2013, PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) dengan IUP diterbitkan pada tahun 2013, dan PT Nurham dengan IUP diterbitkan pada tahun 2025.
Untuk PT Gag Nikel, menurut Faisol anak usaha Antam tersebut tak terindikasi melakukan pelanggaran dan operasional perkembangannya sangat baik.
"Memang kelihatannya pelaksanaan kegiatan tambang nikel di PT GN (GAG Nikel) ini relatif memenuhi kaidah-kaidah tata lingkungan. Artinya, bahwa tingkat pencemaran (di Raja Ampat) yang tampak oleh mata itu hampir tidak tidak terlalu serius," ujarnya.
Terkait 3 perusahaan yang terindikasi melakukan pelanggaran, indikasi pelanggaran pertama ada pada aktivitas pertambangan PT Anugerah Surya Pratama (ASP) yang merupakan perusahaan asal Tiongkok. Dari foto udara yang diambil saat peninjauan langsung pada 26-31 Mei 2025 perusahaan tersebut memperlihatkan indikasi pelanggaran berat.
Perusahaan itu juga diketahui melakukan kegiatan tambang di Pulau Manuran dengan luasan sekitar 746 hektare tanpa sistem manajemen lingkungan dan tanpa pengelolaan air limbah.
Indikasi pelanggaran kedua ditemui pada aktivitas PT Kawei Sejahtera Mining (KSM). Di sana, temuan yang didapat adalah pembukaan lahan di luar izin lingkungan dan di luar kawasan kawasan hutan (PPKH) seluas lima hektare.
Perusahaan ketiga yang terindikasi melakukan pelanggaran lainnya adalah PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) yang tidak memiliki dokumen lingkungan dan izin PPKH.
Berdasarkan mandat undang-undang serta keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA), kegiatan pertambangan di pulau kecil memang tidak diperkenankan.
Faisol menjelaskan perizinan pertambangan di Raja Ampat terbit bahkan sebelum ada peraturan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang melarang pertambangan di pulau terbuka dan hutan lindung, khususnya PT Gag Nikel yang mendapat kontrak karya (KK) sejak tahun 1998. Pemerintah ke depan akan melakukan diskusi kembali soal yurisprudensi hukum terkait kegiatan pertambangan di pulau kecil dan konservasi.
"Di undang-undang, pulau-pulau kecil tidak ada pengecualian. Jadi tidak ada pengecualian, ini dibuktikan dengan keputusan MA tahun 2022, kemudian diperkuat oleh keputusan MK tahun 2023," kata Faisol.
Faisol juga menjelaskan Kementerian LH akan tegas kepada perusahaan dengan mencabut izin usaha pertambangan perusahaan yang terbukti merusak lingkungan.
“Pulau-pulau kecil ini memiliki nilai ekologis yang tinggi. Kalau kemudian kegiatan penambangan dilakukan di situ, ini adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip keadilan antargenerasi. Dan kami tidak akan ragu untuk mencabut izin usaha pertambangan apabila ditemukan kerusakan yang tidak bisa dipulihkan,” tegasnya.