Aku Tidak Putih dan Dianggap Tak Cantik oleh Keluargaku


Ilustrasi perempuan yang sedih karena dibully keluarga. Foto: Shutterstock
Ilustrasi perempuan yang sedih karena dibully keluarga. Foto: Shutterstock

Komentar soal warna kulit dari keluarga membuatku kehilangan kepercayaan dirihingga akhirnya belajar menerima dan mencintai diriku sendiri.

Kok kamu makin merchandise, sih? Nggak mau perawatan?"

Kalimat itu terlontar begitu saja dari bibir tanteku saat acara keluarga. Spontan, semua mata tertuju padaku. Kulitku yang piknik menjadi bahan tontonan dan ledekan di antara sepupu-sepupuku yang berkulit cerah dan sparkling.

Aku hanya tersenyum canggung. Sudah terlalu sering aku mendengar kalimat seperti itu sejak kecil.

Masa Kecil yang Dihapus oleh Warna Kulit

Sejak SD, aku tahu bahwa "cantik" di mata keluargaku punya definisi yang sempit: putih, langsing, rambut lurus. Aku gagal memenuhi semua standar itu. Kulitku lebih gelap karena sering primary di luar, badanku biasa saja, dan rambutku ikal sejak lahir.

Setiap lebaran tiba, selalu ada perbandingan:

Coba deh kayak sepupumu itu, kulitnya putih bersih. Kamu kalau cewek harus jaga penampilan.”

Aku tumbuh bukan dengan rasa bangga, tapi rasa malu. Aku belajar diam, belajar menerima bahwa aku adalah gadis yang paling tidak favorit di keluarga besar.

Aku lantas mencoba "mengubah diri". Mulai dari beli krim pemutih abal-abal, pakai bedak tebal agar tampak "Corahan"sampai coba-coba suntik nutrition C yang kubaca di web. Tapi semakin aku berusaha menjadi seperti mereka, semakin aku kehilangan diriku sendiri.

Krim-krim ini justru menyerangku balik. Kulitku jadi iritasi, wajahku bruntusan efek zat berbahaya yang terkandung di dalam krim itu. Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), sekitar 60% produk pemutih kulit di pasaran tidak terdaftar di BPOM dan berpotensi mengandung zat berbahaya seperti merkuri atau Hydrokuinon.

Tapi tak ada satu pun yang peduli soal itu, setidaknya di keluargaku. Mereka cuma peduli dengan warna kulitku yang memang lebih cerah dari sebelumnya.

Kamu sekarang lumayan putih, ya. Bagusan begitu.”

Saya hanya tersenyum. Luka di jantung tidak terlihat, tetapi di dalam.

Titik Balik: Saat Aku Melihat Diriku dengan Mataku Sendiri

Semua berubah saat aku kuliah. Aku bertemu banyak perempuan yang bangga dengan warna kulit mereka. Aku mengikuti komunitas mencintai diri sendiri. Perlahan, aku mulai berdamai.

Menurut Proyek harga diri Dove Laporan (2021)7 dari 10 perempuan muda di Indonesia merasa tidak percaya diri karena standar kecantikan media, termasuk warna kulit.

Aku berhenti memutihkan kulit, dan mulai merawatnya apa adanya. Aku mulai bercermin tanpa rasa ingin menghapus warna kulitku. Aku mulai bilang ke diri sendiri:

Kulit ini membuatku tumbuh. Kulit ini menyimpan banyak cerita. Itu bukan kutukan. Itu rumah. “

Aku sadar, kita tidak salah terlahir dengan warna kulit yang tak bisa kita pilih ini. Kita juga tidak kurang hanya karena tak memenuhi standar cantik buatan masyarakat, media, atau keluarga.

Psikolog klinis Adelia Putri, M.Psi menyatakan bahwa penerimaan diri adalah langkah awal yang penting dalam membangun kepercayaan diri dan menghindari dampak jangka panjang dari frame shaming (Sumber: Kompas.com, 2022).

Cantik tidak selalu harus putih. Cantik adalah saat kita merawat diri kita dengan rasa hormat. Cantik adalah saat kita menyayangi tubuh yang telah bekerja keras menjaga kita.

Untuk keluargaku yang pernah menghakimi:

Maaf, aku tidak bisa menjadi versi cantik yang kalian inginkan. Tapi aku bisa menjadi versi diriku yang paling utuh."

Dan itu, lebih dari cukup.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *