Populer: Tanah Tak Bersertifikat Diambil Negara; RI Butuh Rp 7.500 Triliun



Ilustrasi sertifikat tanah. Foto: Shutterstock
Laporan kumparanBisnis dengan judul ‘Kementerian ATR/BPN Bantah Tanah Tak Bersertifikat Diambil Negara’ menjadi berita populer pada Selasa (1/7).

Selain itu, kabar tentang Indonesia butuh investasi Rp 7.500 triliun untuk mampu mencapai goal pertumbuhan ekonomi pada tahun 2026 turut menjadi berita favorit pembaca.

Berikut rangkuman berita populer kumparanBisnis kemarin:

Kementerian ATR/BPN Bantah Tanah Tak Bersertifikat Diambil Negara Mulai 2026

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menegaskan bahwa kabar soal negara akan mengambil tanah girik yang belum disertifikatkan pada 2026 adalah tidak benar.

“Informasi bahwa tanah girik yang tidak didaftarkan hingga 2026 akan diambil negara, itu tidak benar,” kata Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian ATR/BPN, Asnaedi, dalam keterangan resminya, Selasa (1/7).

Ia menjelaskan, sejak dulu girik, verponding, dan bekas hak lama lainnya bukan bukti kepemilikan sah, melainkan hanya petunjuk pernah adanya hak atau penguasaan atas tanah tersebut. Namun, dokumen semacam itu tetap bisa dijadikan dasar untuk pengakuan dan pendaftaran hak sesuai ketentuan yang berlaku dalam UU Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960.

“Jika tanah itu masih dikendalikan dan Girik masih ada, tidak ada tanah yang akan diambil negara,” tambahnya.

Mengacu pada PP Nomor 18 Tahun 2021 Pasal 96, tanah bekas milik adat wajib didaftarkan paling lambat lima tahun sejak aturan itu berlaku. Artinya, batas waktu pendaftaran hingga 2026 bukan untuk merampas hak, melainkan demi memberikan kepastian hukum.

Asnaedi pun mendorong masyarakat untuk segera mendaftarkan tanahnya agar bisa memiliki sertifikat resmi.

“Ini justru jadi momentum agar masyarakat menyertipikatkan tanahnya. Negara hadir untuk memberikan kepastian hukum, bukan mengambil hak masyarakat,” ucapnya.

Sri Mulyani: Butuh Investasi Rp 7.500 T untuk Capai Goal Pertumbuhan Ekonomi

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) didampingi Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono (kiri) memberikan pemaparan pada konferensi pers APBN KiTa di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (30/4/2025). Foto: Bayu Pratama S/ANTARA FOTO

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut Indonesia membutuhkan investasi sebesar Rp 7.500 triliun pada 2026 untuk mencapai goal pertumbuhan ekonomi yang dipatok di kisaran 5,2 persen hingga 5,8 persen.

Dalam paparan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026 di DPR RI, ia menegaskan pertumbuhan ekonomi tidak mungkin tercapai tanpa dorongan investasi yang kuat.

“Pertumbuhan investasi harus dijaga atau bahkan ditingkatkan hingga 5,9 persen year-on-year. Ini berarti diperlukan suntikan investasi baru minimum Rp 7.500 triliun,” ujar Sri Mulyani dalam rapat paripurna, Kamis (27/6).

Ia menyebut investasi berkontribusi sekitar 30 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Namun, investasi saja tak cukup. Konsumsi rumah tangga juga perlu didorong agar tumbuh minimum 5,5 persen—mengingat sektor ini menyumbang 55 persen dari PDB Indonesia.

“Pemerintah harus menciptakan lapangan kerja agar pendapatan masyarakat meningkat. Daya beli perlu dijaga,” tambahnya.

Untuk menopang dua komponen utama itu, inflasi harus tetap rendah dan lapangan kerja diperluas. Jika digabungkan, konsumsi rumah tangga dan investasi menyumbang sekitar 85 persen terhadap perekonomian nasional.

Lebih lanjut, Sri Mulyani juga menyoroti peran Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara yang kini dipimpin Rosan Roeslani. Lembaga ini diharapkan mampu menarik investasi domestik dan asing di sektor-sektor strategis bernilai tambah tinggi.

“Lingkungan international yang penuh ketidakpastian membuat pemerintah harus bekerja ekstra keras mendorong peran swasta sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi,” ucapnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *