3 Kasus Mafia Tanah di Bantul-Sleman: Mbah Tupon hingga Guru Honorer Jadi Korban


Ilustrasi mafia tanah. Foto: darksoul72/Shutterstock
Ilustrasi mafia tanah. Foto: darksoul72/Shutterstock

Kasus mafia tanah bermunculan di Yogyakarta. Sertifikat tanah yang awalnya atas nama warga tiba-tiba berganti pemilik tanpa diketahui prosesnya.

Rumah dan tanah tempat tinggal terancam dilelang financial institution gara-gara sertifikat diagunkan oleh orang tak dikenal. Sejauh ini sudah ada 3 kasus mafia tanah yang terungkap, dua di Bantul dan satu di Sleman. Berikut kasusnya:

Kasus Mbah Tupon

Mbah Tupon adalah lansia buta huruf berusia 68 tahun. Tanah seluas 1.655 meter persegi beserta dua rumah miliknya di RT 04 Dusun Ngentak, Kalurahan Bangunjiwo, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul, terancam dilelang financial institution.

Kasus ini bermula pada 2020 saat Tupon menjual sebagian tanahnya. Saat itu general tanah Tupon 2.100 meter persegi.

Tupon menjual sebagian tanahnya, seluas 298 meter persegi, ke seseorang berinisial BR. Tanah tersebut dijual Rp 1 juta according to meternya.

Singkat cerita, proses jual beli dan pecah sertifikat sudah rampung, tak ada kendala. Sertifikat tanah sisa seluas 1.655 meter persegi kembali ke Tupon.

Mbah Tupon (68) warga RT 04 Dusun Ngentak, Kalurahan Bangunjiwo, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul, terancam kehilangan 1.655 meter persegi beserta dua rumahnya karen mafia tanah, Sabtu (26/4). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Mbah Tupon (68) warga RT 04 Dusun Ngentak, Kalurahan Bangunjiwo, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul, terancam kehilangan 1.655 meter persegi beserta dua rumahnya karen mafia tanah, Sabtu (26/4). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan

Namun BR masih memiliki utang pembayaran tanah senilai Rp 35 ke juta ke Tupon.

Saat itu sekitar 2021-an, BR menawarkan utangnya ke Tupon untuk dilunasi dalam bentuk membiayai pecah sertifikat Tupon yang seluas 1.655 meter persegi. Sertifikat dipecah menjadi jadi empat bagian yaitu untuk Tupon dan ketiga anaknya.

BR meminta bantuan TR untuk mengurus proses pecah sertifikat itu. Namun ternyata bukannya dipecah, sertifikat itu malah di balik nama.

"Ternyata yang terjadi malah balik nama atas nama IF. Dan diagunkan di financial institution senilai Rp 1,5 miliar," kata anak Tupon, Heri.

Heri baru tahu sertifikat bapaknya berpindah nama setelah financial institution datang ke rumahnya. Financial institution datang pada 2024 dan terakhir 2025 untuk melakukan pengukuran.

Spanduk bertuliskan "Tanah dan bangunan ini dalam sengketa" di RT 04 Dusun Ngentak, Kaluragan Bangunjiwo, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul, kepada Mbah Tupon korban mafia tanah. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Spanduk bertuliskan "Tanah dan bangunan ini dalam sengketa" di RT 04 Dusun Ngentak, Kaluragan Bangunjiwo, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul, kepada Mbah Tupon korban mafia tanah. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan

Kini Mbah Tupon yang buta huruf itu berharap sertifikatnya bisa kembali. Dukungan pun mengalir kepada Mbah Tupon termasuk dari warga sekitar.

Pihak keluarga telah melaporkan lima orang yang diduga terlibat dalam kasus tersebut yakni BR (pembeli tanah 298 meter persegi), TR (perantara BR), TRY (notaris), AR (notaris), dan IF (nama di sertifikat 1.655 meter persegi milik Tupon) ke Polda DIY.

Kasus Keluarga Bryan

Awalnya pada Agustus 2023 ibunda Bryan, Endang Kusumawati hendak turun waris sertifikat tanah seluas 2.275 meter persegi ke dua anaknya termasuk Bryan. Tanah dan bagunan itu berada di Tamantirto, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul.

Saat itu sertifikat masih atas nama Sutono Rahmadi, suami Endang yang juga ayah Bryan.

Endang kemudian mempercayakan pengurusan pecah dan turun waris ini ke TR sosok yang dikenal sebagai makelar tanah.

Tanah seluas 2.275 meter persegi beserta rumah, kos 30 kamar, dan tempat usaha tanaman hias milik keluarga Bryan Manov, korban mafia tanah di Tamantirto, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul, Senin (5/5/2025). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Tanah seluas 2.275 meter persegi beserta rumah, kos 30 kamar, dan tempat usaha tanaman hias milik keluarga Bryan Manov, korban mafia tanah di Tamantirto, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul, Senin (5/5/2025). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan

Namun ternyata sertifikat itu justru beralih nama ke MA, sosok yang tak dikenal sama sekali oleh keluarga Bryan. Oleh orang tak dikenal itu, sertifikat diagunkan ke financial institution.

Keluarga Bryan baru tahu sertifikat beralih nama ketika financial institution datang ke rumahnya pada November atau Desember 2024.

Bryan Manov Qrisna Huri (35) warga Tamantirto, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul, korban mafia tanah saat di Pemkab Bantul, Senin (5/5/2025). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Bryan Manov Qrisna Huri (35) warga Tamantirto, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul, korban mafia tanah saat di Pemkab Bantul, Senin (5/5/2025). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan

Tanah ini tak hanya berisi rumah tinggal tetapi juga indekos dengan 30 kamar nilai asetnya mencapai miliaran rupiah.

"Tanah itu dalam bentuk rumah tinggal dan ada bangunan kos. Nilai general (aset) Rp 9 miliar lebih," jelasnya.

Saat ini sosok TR selaku penerima pertama sertifikat telah dilaporkan ke polisi. TR ini juga salah satu orang yang dilaporkan dalam kasus mafia tanah dengan korban Mbah Tupon.

Kasus Hedi dan Evi

Hedi dan Evi telah berjuang selama 12 tahun melawan mafia tanah. Yang jadi objek adalah tanah seluas 1.475 meter persegi beserta bangunan rumah di Pedukuhan Paten, Kalurahan Tridadi, Kapanewon Sleman, Kabupaten Sleman.

Hedi adalah guru honorer di SMK swasta, gajinya Rp 150 ribu according to bulan. Untuk menopang kesehariannya dia juga bekerja sebagai montir bengkel.

Sekitar 2011, Evi kedatangan ibu dan anak yang hendak mengontrak rumahnya untuk usaha konveksi. Saat itu, Evi masih tinggal di Seyegan, Sleman, di rumah keluarga Hedi. Rumah di Paten ini memang biasa disewakan saat itu.

"Ada dua orang SJ (laki-laki) dan SH (perempuan), mau mengontrak terus akhirnya ketemu istri saya tahun 2011. Mau ngontrak rumah selama 5 tahun. Setahunnya Rp 5 juta. Selama 5 tahun maka Rp 25 juta," kata Hedi ditemui di rumahnya, Senin (12/5).

Saat itu sudah ada kesepakatan harga. Rencananya SJ dan SH akan mulai menempati pada 2012. Dalam proses ini, SJ dan SH membujuk Evi untuk memberikan sertifikat tanahnya sebagai jaminan sebelum menempati rumah.

"Sertifikat sudah saya serahkan ke SJ dan SH karena kan dia ngasih uang saya kan sebagai untuk kepercayaan karena dia takut saya lari. Jadi buat jaminan karena mau menyerahkan uang Rp 25 juta," kata Evi menambahkan.

Uang kontrakan dibayar dicicil dari Agustus sampai Desember 2011. Dalam rentang waktu itu, Evi dibujuk untuk datang ke kantor notaris di Kalasan, Sleman. Alasan dari SJ dan SH adalah untuk tanda tangan perjanjian mengontrak rumah.

"Yang ditandatangani itu saat itu tidak tahu (apa). Setengah kayak digendam atau dipaksa," kata Hedi.

Evi tak boleh membaca surat yang dia tanda tangani. Oleh SH dia disuruh segera menandatangani. Tak ada firasat buruk, bahwa ini awal malapetaka yang dialami Evi dan keluarga.

Seorang guru honorer bernama Hedi Ludiman (49) dan istrinya Evi Fatimah (38) di Sleman jadi korban mafia tanah. Berjuang 12 tahun tapi sertifikat tak kunjung kembali, Senin (12/5/2025). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Seorang guru honorer bernama Hedi Ludiman (49) dan istrinya Evi Fatimah (38) di Sleman jadi korban mafia tanah. Berjuang 12 tahun tapi sertifikat tak kunjung kembali, Senin (12/5/2025). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan

Pada Mei 2012, pihak salah satu financial institution BPR datang ke rumah. Dari situ didapati informasi sertifikat financial institution tanah dan rumah ini telah diagunkan untuk utang senilai Rp 300 juta dan kreditnya macet.

Namun, saat itu sertifikat masih atas nama Evi. Financial institution saat itu juga menginformasikan sertifikat tengah dibalik nama.

Setelah itu, pada 1 Juni 2012, Hedi mengecek ke BPN ternyata sertifikat milik istrinya telah beralih ke atas nama SJ.

Hedi lalu melapor ke Polres Sleman terkait penipuan dan penggelapan. Akhirnya pada 2014, SH berhasil ditangkap polisi. Namun, SJ statusnya masih buron sampai saat ini

SH kemudian disidang di Pengadilan Negeri Sleman dan divonis 9 bulan kurungan penjara.

Dari persidangan itu pula, Hedi mendapati fakta ada kuasa jual hingga akta jual beli (AJB). Selain itu ada pula KTP palsu istrinya yang katanya dilegalisir oleh notaris di Kalasan.

Notaris tersebut kemudian dilaporkan ke Majelis Pengawas Daerah (MPD) notaris. Menurut Hedi di sana notaris tersebut dinyatakan bersalah secara etik.

Hedi kemudian menggugat secara perdata ke Pengadilan Negeri Sleman baik itu SJ dan SH serta pihak financial institution.

Saat itu putusannya Niet Ontvankelijk Verklaard (NO) atau putusan tidak dapat diterima karena gugatan mengandung cacat formil.

Saat itu dia hendak mengajukan banding. Namun pengacaranya pergi. Hedi juga melaporkan financial institution ke Ditreskrimsus Polda DIY namun SP3.

Meski sudah ada terpidana dalam kasus ini, tetapi sertifikat milik Evi pun tak kembali ke tangannya.

"Tidak ada (putusan sertifikat kembali), kan NO. Pengacara juga lari, saya mencari pengacaranya. Tidak berani kalau banding ini," terangnya.

Hedi sempat menunjukkan surat-surat BPN Sleman bahwa sertifikat tanahnya diblokir. Namun ternyata tetap ada lelang oleh financial institution. Padahal setahu dirinya ketika sertifikat diblokir tak bisa ada lelang.

"Kan diblokir di BPN, ternyata dalam prosesnya dibalik lagi. Dari SJ ke orang bernama RZA," katanya.

Awalnya Hedi tak tahu RZA ini siapa. Setelah dia menelusuri, RZA ini diduga adalah oknum kejaksaan.

Kini sertifikat tanah dan bangunan dengan nilai aset sekitar Rp 5 miliar itu tak tahu rimbanya. Padahal tanah ini merupakan tanah warisan.

Harapan Hedi, sertifikat tanah milik istrinya bisa segera kembali. "Harapan saya untuk mengembalikan sertifikat atas nama istri saya," kata bapak tiga orang anak ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *