MUI Usul Masa Haji Dipangkas Jadi 20 Hari, Muhammadiyah Sebut Harus Dikaji


Ketua MUI KH Cholil Nafis. Foto: Istimewa
Ketua MUI KH Cholil Nafis. Foto: Istimewa

Wacana untuk memangkas masa tinggal jemaah haji belakangan mencuat ke publik. Alasannya, ini dinilai bisa menghemat biaya haji.

Usulan ini dilontarkan oleh Ketua Majelis Ulama (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis.

Cholil mengusulkan agar masa tinggal jemaah haji dipangkas menjadi 20 hari. Saat ini, rata-rata masa tinggal jemaah haji di Arab Saudi mencapai 40 hari.

Menurutnya, ziarah sebenarnya hanya membutuhkan waktu 6 hari. Kemudian ditambahkan ke beberapa jaringan penyembahan Sunnah selama 10 hari.

"Jadi kalau 17 atau 20 hari itu sudah cukup dengan (tambahan) seminggu bagi yang mau ambil salat arbain di Madinah. Saya kira itu akan lebih murah," kata Cholil dikutip dari akun X-nya, Minggu (25/5).

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam sambutannya di acara Halalbihalal Idulfitri 1446 H di UMJ, Tangsel, Sabtu (19/4/2025). Foto: Youtube/ TV Universitas Muhammadiyah Jakarta
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam sambutannya di acara Halalbihalal Idulfitri 1446 H di UMJ, Tangsel, Sabtu (19/4/2025). Foto: Youtube/ TV Universitas Muhammadiyah Jakarta

Respons Muhammadiyah

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, merespons usulan pemangkasan masa tinggal jemaah haji. Dia menilai, wacana ini masih perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam.

"Jadi, itu kan usulan yang perlu dikaji secara saksama dan dalam pace yang lama. Kenapa? Karena haji itu ibadah yang penyelenggaraannya itu banyak titik-titik krusial. Banyak titik-titik kritis. Banyak titik-titik darurat," kata Haedar di Yogyakarta.

"Sehingga soal mau 20 hari, 30 hari, dan seterusnya itu nanti dikaji bareng-bareng. Lalu, diambil keputusan bersama yang juga nanti melibatkan DPR," Tambahkan dia.

Pasalnya, Haedar mengatakan, urusan haji termasuk rumit. Hal ini bisa dilihat dari sistem pelaksanaannya yang berubah setiap tahun.

"Coba sistem syarikah misalkan. Niatnya bagus. Sistemnya bagus. Tapi persepsi masyarakat kan bisa berubah," tutur dia.

Selain itu, Haedar melanjutkan, masyarakat Indonesia masih juga menganut sistem paguyuban. Sehingga, perlu ada penyesuaian dari instrumen pendukung.

"Yang ketiga, kan juga ada yang bermadzhab untuk arbain segala macam. Jadi dikajilah. Nanti untuk yang akan datang, yang akan datang, yang akan datang. Kalau memang itu bagus, tapi nanti harus ditetapkan bersama," ungkapnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *