KLHK Tindak Lanjuti Temuan BPK Terkait Sawit Ilegal di Kawasan Hutan

KLHK Tindak Lanjuti Temuan BPK Terkait Sawit Ilegal di Kawasan Hutan


KLHK Tindak Lanjuti Temuan BPK Terkait Sawit Ilegal di Kawasan Hutan
Foto udara penyedia jasa angkutan membawa pengendara sepeda motor melewati perkebunan kelapa sawit.(ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/foc.)

SEBANYAK 2,5 juta hektare pelaku usaha perkebunan sawit tidak memiliki izin dan belum dikenakan sanksi administratif membuka lahan di kawasan hutan. Hal itu sesuai laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia 2023. Menanggapi hal itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya mengeluarkan memrandum guna menyelesaikan inventarisasi knowledge dan informasi subjek hukum perkebunan sawit di kawasan hutan dalam jangka waktu yang terukur.

“Memorandum itu juga berisi mengenakan sanksi dan/atau denda administratif kepada para pelaku usaha perkebunan sawit dalam kawasan hutan sesuai dengan yang telah disusun. Terkait dengan disiplin. Jadi kami sudah menindaklanjuti dan mengingatkan kepada dirjen-dirjen harus menyiapkan dan memberikan sanksi peringatan dan lain-lain,” ungkap Siti saat menghadiri rapat kerja bersama Komisi IV DPR-RI, Senin (2/9).

Baca juga: PNBP dari Denda Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Meningkat pada 2023

KLHK, imbuh Siti, telah membentuk satgas yang terbagi dalam dua tipe persoalan, yakni Pasal 110A dan 110B yang tertuang dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Pasal 110 A menyatakan, “Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang terbangun dan memiliki perizinan berusaha di dalam kawasan hutan sebelum UU ini dan belum memenuhi syarat sesuai perundang-undangan berlaku, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tiga tahun sejak UU ini berlaku. Jika lebih tiga tahun, akan kena sanksi administrasi berupa pembayaran denda administrasi dan atau pencabutan izin berusaha”.

Lalu Pasal 110 B menyebutkan, “Setiap orang yang melakukan pelanggaran tanpa memiliki perizinan berusaha sebelum berlaku UU ini akan kena sanksi administrasi berupa penghentian sementara kegiatan usaha, pembayaran denda administrasi dan atau paksaan pemerintah’.”
“Kita sudah melakukan penindakan dan mengeluarkan surat keputusan perusahaan sawit kira-kira sebanyak 213 perusahaan swasta dan sekarang sedang berproses dan sudah dalam tahap penagihan,” imbuh Siti.

Terkait dengan persoalan sawit di dalam kawasan hutan, Siti menuturkan, sudah didiskusikan sejak tahun 2018 lalu dan bahkan permasalahan mengenai sawit di dalam kawasan ini sudah terjadi sejak dekade 1990. Setelah diidentifikasi, kata dia, salah satu yang menyebabkan terjadinya persoalan ini yakni adanya dispute regulasi. Hal itu mengingat pada masa lampau belum terdapat kejelasan mengenai kawasan hutan.

“Dengan situasi ini, kalau terjadi sengketa regulasi oleh pemerintah, kan tidak bisa sepenuhnya kesalahan itu disalahkan kepada swasta. Tapi harus diluruskan. Dalam sengketa regulasi ini maka yang harus diluruskan dan harus dipungut adalah PNBP-nya. Kalau yang tidak ada izin penggunaan, tidak ada pake apa dan bukan karena sengketa tapi karena memang pelanggaran, maka memang harus diberikan sanksi,” ujar Siti.

Ia pun menegaskan bahwa tidak ada pemutihan pada kebun sawit di dalam kawasan hutan. Ia menegaskan bahwa langkah keadilan restoratif yang diambil pemerintah berbeda dengan pemutihan. Yang membedakan keduanya ialah, di dalam pemutihan itu artinya dimaafkan sedangkan melalui keadilan restoratif, pelaku yang melanggar ketentuan perundangan tetap dikenakan sanksi berupa denda maupun sanksi dalam bentuk lainnya. (H-3)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *