PON dan Pembelajaran Berbasis Nilai


PON dan Pembelajaran Berbasis Nilai
(Dok. Pribadi)

AJANG Pekan Olahraga Nasional (PON) Aceh yang baru saja berakhir seharusnya menjadi momen kebanggaan dan persatuan bagi seluruh peserta dan penonton. Namun, di balik kemeriahan dan semangat kompetisi, tersisa kenangan pahit terkait dengan perilaku tidak sportif beberapa atlet dan tim yang terlibat. Ketidakjujuran, provokasi, dan pelanggaran aturan menjadi noda dalam perhelatan tersebut, menunjukkan bahwa kemenangan tanpa nilai sportivitas ialah kekalahan ethical.

Itulah yang menegaskan pentingnya pendidikan karakter dalam membentuk atlet yang tidak hanya kompeten secara fisik, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan ethical dalam setiap kompetisi. Pendidikan karakter tidak hanya sekadar mengajarkan keterampilan fisik, tetapi juga nilai-nilai ethical seperti sportivitas, kejujuran, dan tanggung jawab yang menjadi fondasi dalam setiap tindakan mereka.

Dalam konteks ini, pendidikan karakter memiliki peran penting dalam membentuk individu yang bukan hanya ahli di bidangnya, melainkan juga berpegang teguh pada nilai-nilai etika. Sportivitas, sebagai salah satu nilai utama dalam PON, bukan hanya soal kemenangan, melainkan juga tentang integritas dan bagaimana menerima kekalahan dengan percaya diri serta penghormatan pada lawan. Inilah yang seharusnya menjadi landasan dalam setiap kompetisi dan pembelajaran karakter.

Baca juga: Infografis: Evaluasi Penyelenggaraan PON XXI Aceh-Sumatra 2024

Pembelajaran berbasis nilai

PON XXI tidak hanya mengajarkan pentingnya kompetisi fisik, tetapi juga memperlihatkan bahwa nilai-nilai seperti sportivitas dan integritas perlu menjadi bagian tak terpisahkan dari pendidikan. Pendekatan itu sesuai dengan konsep pembelajaran berbasis nilai yang diusung para pemikir seperti John Dewey dan Carl Rogers. Pembelajaran berbasis nilai ialah proses pendidikan yang bertujuan menanamkan prinsip ethical, etika, dan sikap dalam tindakan dan interaksi siswa dengan lingkungan mereka.

Baca juga: Inklusi Sosial di Sekolah

John Dewey (2003) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis nilai harus terintegrasi dengan pengalaman nyata sehari-hari. Nilai-nilai tidak hanya diajarkan melalui kegiatan formal di kelas, tetapi juga melalui partisipasi aktif dalam kegiatan sosial, baik di dalam maupun di luar sekolah. Dengan terlibat dalam pengalaman praktis, siswa dapat melakukan refleksi kritis atas tindakan mereka sendiri dan dampaknya terhadap orang lain. Tujuannya ialah membentuk karakter siswa yang mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan serta konsisten dalam menerapkannya.

Menurut Fakhruddin (2017), baik atau buruknya nilai-nilai yang diperoleh siswa sangat bergantung pada proses pembelajaran yang mereka alami. Karena itu, perkembangan siswa akan lebih optimum dan efektif jika mereka diberi kebebasan untuk secara aktif mengeksplorasi lingkungan mereka melalui pengalaman bermakna.

Carl Rogers (2012) juga menekankan bahwa pembelajaran bermakna terjadi ketika siswa terlibat langsung dalam proses dan diikuti dengan refleksi mendalam. Hal itu menunjukkan bahwa pembentukan karakter tidak hanya dipengaruhi aturan yang diterapkan, tetapi juga oleh pengalaman hidup yang memberikan peluang bagi siswa untuk belajar, berkembang, dan menerapkan nilai-nilai tersebut.

Baca juga: Refleksi 79 Tahun Indonesia Merdeka: Pendidikan yang Terlupakan

Erin Stapleton-Corcoran (2023)–dengan mengutip Bloom–membagi proses pembelajaran nilai menjadi empat tingkatan. Pertama, tanggapan, yang mana siswa menunjukkan minat dan partisipasi dalam nilai-nilai.

Kedua, penghargaan, yaitu pengakuan siswa terhadap pentingnya suatu nilai dan komitmen untuk melaksanakannya. Ketiga, organisasi, yang mana berbagai nilai diinternalisasi ke dalam sistem pribadi siswa.

Terakhir, karakterisasi, yang mana nilai-nilai menjadi bagian dari karakter individu dan tecermin dalam perilaku sehari-hari. Proses mengajarkan nilai-nilai itu bersifat berkelanjutan dan dilakukan melalui berbagai pendekatan untuk memastikan bahwa siswa memahami, menginternalisasi, dan menerapkan nilai-nilai tersebut hingga menjadi bagian integral dari kehidupan mereka.

Baca juga: Orang Muda dan Bina Damai di Era Digital

Menanamkan nilai-nilai

Sekolah Sukma Bangsa merupakan bukti nyata bahwa nilai-nilai seperti sportivitas dan integritas dapat ditanamkan melalui pengalaman langsung. Dalam PON XXI, siswa SMP Sukma Bangsa Lhokseumawe berpartisipasi dalam cabang olahraga layar dan memahami bahwa kemenangan yang sesungguhnya diperoleh melalui kerja keras dan pengakuan atas keterbatasan diri.

Proses penanaman nilai itu dilakukan dengan memberikan penekanan pada perkembangan dan proses belajar siswa yang mana guru lebih berperan sebagai pembimbing untuk mengembangkan potensi siswa daripada sekadar mengejar hasil akhir. Siswa didorong untuk belajar dari pengalaman dan mengeksplorasi lingkungan sekitar mereka sehingga nilai-nilai dapat tumbuh dengan sendirinya (Carl Rogers, 2012; John Dewey, 2003).

Sekolah juga mengedepankan pentingnya etika, berpikir kritis, dan kerja sama dalam membentuk siswa yang bertanggung jawab, disiplin, serta berintegritas. Pendidikan karakter menjadi inti dari setiap aspek pembelajaran. Contoh nyatanya ialah keterlibatan siswa dalam PON XXI. Mereka tidak hanya bersaing untuk menang, tetapi juga belajar menghargai usaha dan kemampuan dalam mengatasi tantangan. Integrasi pendidikan karakter dalam olahraga itu memberikan pengalaman langsung yang menanamkan nilai sportivitas dan integritas pada diri siswa.

Sekolah Sukma Bangsa telah berupaya menanamkan nilai-nilai kepada siswa dengan menekankan pentingnya peran guru dan orangtua sebagai teladan karena siswa belajar dengan mengamati perilaku dan konsekuensinya. Guru diharapkan menjadi panutan dalam mengajarkan nilai-nilai, seperti kejujuran. Yang sulit dipahami jika guru dan orangtua tidak jujur atau transparan.

Dalam kehidupan sehari-hari, baik di dalam maupun di luar kelas, guru menunjukkan empati, kepedulian, dan kasih sayang agar siswa dapat mempraktikkan nilai-nilai tersebut. Penghargaan dan pengakuan juga penting dalam membentuk karakter siswa. Guru dan siswa yang konsisten menerapkan nilai-nilai seperti kedisiplinan, keramahan, kejujuran, dan kepedulian akan diakui sebagai teladan melalui acara tahunan Sukma Award.

Selain itu, siswa di Sekolah Sukma Bangsa dilatih dalam keterampilan sosial dan emosional seperti manajemen emosi dan empati. Refleksi terhadap penerapan nilai-nilai itu menjadi bagian penting dari proses belajar, memastikan bahwa setiap siswa tidak hanya memahami, tetapi juga menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran berbasis nilai, baik melalui kegiatan di kelas maupun ekstrakurikuler, menanamkan prinsip-prinsip kunci yang membentuk karakter siswa.

Melalui pengalaman langsung seperti PON, siswa memahami bahwa kemenangan tidak hanya ditentukan hasil akhir, tetapi juga oleh proses, integritas, dan sikap yang ditunjukkan sepanjang perjalanan. Pendekatan pendidikan karakter yang diterapkan dalam kegiatan itu sejalan dengan nilai-nilai sportivitas di PON yang menekankan pentingnya integritas, ketekunan, dan kerja sama, serta menghargai proses dan usaha keras. Sikap menghormati kekalahan dan tetap rendah hati dalam kemenangan ialah inti dari pendidikan nilai yang sebenarnya. Ituah esensi pembelajaran nilai yang sejati!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *