Biaya Layanan Jantung Tinggi, BPJS Watch: Harusnya Pajak Rokok Masuk ke BPJS Kesehatan

Biaya Layanan Jantung Tinggi, BPJS Watch Harusnya Pajak Rokok Masuk ke BPJS Kesehatan


Biaya Layanan Jantung Tinggi, BPJS Watch: Harusnya Pajak Rokok Masuk ke BPJS Kesehatan
Warga Suku Badui menerima Kartu Indonesia Sehat (KIS) di Binong Raya, Lebak, Banten, Selasa (26/9/2023).(ANTARA/Muhammad Bagus Khoirunas )

BPJS Kesehatan menyebut penyakit jantung merupakan penyakit katastropik dengan jumlah kasus dan biaya yang paling besar bila dibandingkan dengan penyakit katastropik lainnya. Tahun lalu, biaya pelayanan kesehatan penyakit jantung mencapai 20.037.280 kasus dengan biaya Rp17,62 triliun.

Menanggapi hal itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan jumlah kasus dan biaya penyakit jantung yang besar akan menyebabkan Dana Jaminan Sosial (DJS) dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan akan lebih besar setiap tahun membiayai penyakit jantung.

“Pasal 99 Pepres 82 tahun 2018 kan mengatur tentang pajak rokok. Pajak rokok diambil dari pajak rokok. Bila mengacu ke perpres 82 tahun 2018 tersebut seharusnya ada alokasi 3,75% cukai rokok untuk pajak rokok yang harus disetor pemda ke BPJS Kesehatan,” kata Timboel kepada Media Indonesia, Selasa (24/9).

Baca juga: Cek Kesehatan, Obat, Hingga Konsultasi Gratis Disediakan Selama Periode Mudik

“Namun pasal 99 ini dikaitkan dengan UHC (Cakupan Kesehatan Common) sehingga amanat pasal 99 tersebut tidak terimplementasi,” imbuhnya.

Menurutnya, bila saja pajak rokok amanat pasal 99 tersebut diberikan kepada BPJS Kesehatan maka ada potensi tambahan untuk JKN sekitar Rp8-10 triliun in step with tahun yang nilainya akan naik karena cukai rokok juga meningkat nilainya.

Timboel mengatakan bahwa penyakit jantung salah satunya disebabkan oleh rokok. Oleh karenanya pajak rokok yang diatur di pasal 99 tersebut seharusnya diserahkan ke BPJS Kesehatan. “Dan karena orang dengan gaya hidup merokok semakin banyak maka nilai pajak rokok bisa ditingkatkan dari cukai rokol menjadi 5 sampai 6 persen. Ini penting agar dana JKN mampu terus membiayai penyakit jantung, selagi upaya preventif terus dimasifkan,” ujarnya.

Baca juga: KTP Dinonaktifkan, Warga Tetap Bisa Dilayani BPJS Kesehatan

Di sisi lain, Timboel menyebut biaya yang besar itu karena layanan jantung dijamin JKN dari proses penanganan awal hingga operasi jantung, apalagi operasi bypass.

“Selain itu jumlah kasusnya pun meningkat. Jantung dan penyakit katastropik lainnya kan penyakit gaya hidup, bukan penyakit menular, yang memang semakin meningkat karena asupan makanan yang tidak baik, kurang olahraga serta gaya hidup merokok yang semakin banyak,” kata Timboel kepada Media Indonesia, Selasa (24/9).

Ia menyebut bahwa di Pepres 59 tahun 2024 junto Permenkes 3 tahun 2023, skrinning penyakit katastropik seperti jantung dilakukan sehingga bisa dideteksi di awal. Namun, kata Timboel, penting adanya upaya pencegahan yang lebih massif.

“Saya pernah usul agar pemda dan pemerintah pusat dan BPJS Kesehatan bekerja sama membiayai gerakan senam jantung sehat yang di masa lalu sudah menjadi gerakan nasional. Gelorakan lagi upaya pencegahan,” kata dia.

“Lalu bisa saja APBN/APBD dan anggaran preventif promotif BPJS Kesehatan mensubsidi masyarakat dan peserta JKN untuk ikut health club. Misalnya subsidi 30%,” pungkasnya. (H-2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *