Bagaimana NU Bisa Mengurai Sejarah Kelam Tragedi 1965


Bagaimana NU Bisa Mengurai Sejarah Kelam Tragedi 1965?
(Dok. Pribadi)

SEMENJAK berakhirnya rezim Soeharto, perdebatan mengenai urgensi penafsiran ulang hingga pencarian bukti baru mengenai Tragedi tahun 1965 masih marak diperbincangkan. Sebelumnya, selama lebih dari tiga dekade, masyarakat tanah air hanya dijejali informasi Peristiwa 1965 dari versi tunggal Orde Baru yang dirasa belum secara komprehensif menggambarkan kondisi seutuhnya dari peristiwa yang sedikitnya memakan sebanyak 500 ribu korban jiwa itu.

Saya melihat generasi muda Nahdlatul Ulama (NU) yang mulai terbuka untuk berbicara tentang Tragedi 1965 bisa menjadi katalisator hingga motor penggerak pengurai tragedi sejarah kelam tersebut.

Sejumlah tulisan reflektif seputar gagasan hingga imbauan untuk membaca ulang Tragedi 1965 mulai banyak dibahas di sejumlah discussion board diskusi dan dikaji di laman situs internet resmi organisasi Islam terbesar di tanah air tersebut, BUKAN Bold.

Baca juga: Nahdlatul Ulama Afghanistan: Diplomasi Damai ala Nahdliyin

Diskursus itu secara tidak langsung telah menghadirkan semangat pengarusutamaan ide dan gagasan bagi warga NU untuk membuka jalan terang mengurai benang kusut sejarah 1965 hingga upaya rekonsiliasi. Selain itu, tentunya juga akan menjadi modalitas penting untuk terus mewarnai discussion board diskusi hingga kajian kedua warga ormas tersebut, khususnya kaum muda, tentang bagaimana seharusnya menyikapi peristiwa kelam itu. Itu disebabkan dengan kita terus mengingat, kita akan bisa melawan segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan ketidakadilan yang pernah terjadi.

Bagaimana sesungguhnya warga NU, khususnya kaum mudanya, dapat berperan dalam mengurai benang kusut sejarah 1965? Untuk mencapai misi penting itu, perlu kiranya iktikad baik dari generasi muda NU untuk mempelajari sejarah Tragedi 1965 secara jujur dan komprehensif. Tidak hanya pada saat terjadinya peristiwa G30S/tragedi 1 Oktober 1965, tetapi juga peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudahnya hingga faktor eskternal yang melingkupinya.

Pembacaan secara menyeluruh pada Tragedi 1965 itu akan membantu memberikan gambaran yang lebih baik (gambar yang lebih baik) hingga menghilangkan kecenderungan subjektivitas dan penyederhanaan sudut pandang akan narasi Tragedi 1965.

Baca juga: Titik Jumpa Fikih Peradaban NU dengan Pancasila

Pandangan itu setidaknya sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Grace Leksana (2009) dalam tulisanya berjudul Rekonsiliasi melalui Pendidikan Sejarah: Merekonstruksi Memori Sosial Kekerasan 1965-66 di Indonesia yang mana ia menekankan akan pentingnya melihat sejarah dan Tragedi 1965 secara komprehensif serta tidak melulu tertumpu pada materi yang disuguhkan rezim Orde Baru saja, sebagaimana yang umumnya kita lakukan saat ini.

Rezim Soeharto menetapkan kurikulum sejarah Tragedi 1965 yang sangat sentralistis yang juga diamanatkan untuk diikuti dan dipelajari oleh semua lembaga pendidikan mulai jenjang sekolah dasar hingga menengah. Akibatnya, guru dilarang memberikan wawasan mereka sendiri dan siswa hanya akan menghafal dan memahami serangkaian fakta yang telah ditentukan sebelumnya sehingga akan menghambat segala bentuk pemikiran kritis.

Oleh karena itu, pendekatan alternatif terhadap pendidikan dan pemahaman sejarah yang lebih jujur dan komprehensif akan sangat bermanfaat dalam mendorong pemahaman yang lebih utuh mengenai sejarah kekerasan 1965 sehingga mendorong rekonsiliasi dan perspektif yang lebih luas mengenai periode kelam dalam sejarah Indonesia.

Baca juga: Wasekjen PBNU Ungkap Alasan Pentingnya Santri Kejar Mimpi ke Tiongkok

Sejarah keterlibatan NU dalam Tragedi 1965

Greg Fealy dan Katharine McGregor (Fealy & McGregor, 2010) dalam karyanya berjudul Nahdlatul Ulama dan Pembunuhan 1965-66: Agama, Politik, dan Peringatan menyoroti keterlibatan NU yang juga disebutnya mempunyai peran kunci dalam tragedi pembantaian 1965.

Baca juga: Abu Bakar Ba’asyir, NU, dan Pancasila

Keterlibatan NU dalam tragedi tersebut bervariasi di pelbagai wilayah dan menurutnya juga tidak terlepas dari bagaimana NU memandang komunisme. Sejak berdirinya pada 1926, para pemimpin NU secara konsisten mengeluarkan pernyataan menentang komunisme, mengutuk doktrinnya sebagai ateis dan cita-citanya mengenai kepemilikan kolektif atas kekayaan dan properti sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Namun, sikap antikomunisme NU hingga akhir 1940-an kurang intensif ketimbang organisasi lain seperti Muhammadiyah dan Persis. Perhatian NU lebih fokus pada dinamika komunitas intra-Islam, terutama hubungan dengan pesaing modernis mereka, daripada mengutuk komunisme secara ideologis.

Lebih jauh lagi, Greg Fealy dan Katharine McGregor juga menegaskan bahwa terdapat sejumlah pandangan yang menyebutkan bahwa keterlibatan mereka (NU) dalam Tragedi 1965 lantaran dipaksa oleh militer. Amin Mudzakir, tokoh muda NU, di sisi lain pun menegaskan betapa NU merupakan bagian dari korban militer pada tragedi kelam tersebut yang mana Banser saat itu tak lebih dari alat tentara yang dipaksa dan terpaksa ikut aksi pembunuhan massal bersama militer dan Angkatan Darat di sejumlah wilayah.

Saat membaca ulang sejarah 1965 dan rekonsiliasi

Bagi NU, ikhtiar mengurai benang kusut Peristiwa 1965 hingga upaya rekonsiliasi ialah sebuah keniscayaan. Dalam sebuah wawancara penulis pada akhir tahun 2017 dengan Imam Aziz, salah seorang Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang juga merupakan pendiri Syarikat Indonesia): sebuah komunitas yang didirikan pada 2000 dan bertujuan mempromosikan semangat rekonsiliasi kultural dalam Peristiwa 1965, ia memandang tragedi itu sebagai salah satu kejahatan tergelap terhadap kemanusiaan yang terjadi setelah kemerdekaan Indonesia, yang sejak itu hingga saat ini menghasilkan traumatisme, stigmatisasi, dan diskriminasi terhadap para korban tragedi serta anak cucu mereka.

Karena itu, pembacaan ulang terhadap Tragedi 1965 hingga rekonsiliasi antara NU dan PKI akan memiliki makna yang penting bagi kedua kelompok.

Tampaknya pandangan Imam Aziz juga tidak bisa dipisahkan dari gagasan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tokoh Nahdlatul Ulama yang juga pernah menjabat sebagai Presiden ke-4 Indonesia.

Gus Dur pernah menyatakan bahwa para pengikut NU telah ikut serta dalam kekejaman terhadap anggota PKI atau yang dituduh PKI selama Tragedi 1965. Atas nama NU, Gus Dur pun meminta maaf atas kejadian masa lalu tersebut seraya meminta agar pemerintah Indonesia memfasilitasi proses rekonsiliasi antara korban dan pelaku.

Pada 11 Januari 2023, Presiden Jokowi juga mengungkapkan bahwasanya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia, Presiden mengakui bahwa Peristiwa 1965 merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di Indonesia dan menjadi sesuatu yang sangat ia sesalkan.

Pernyataan Presiden Joko Widodo itu pun kiranya dapat dijadikan momentum bersama bagi NU akan pembukaan ruang conversation yang lebih aktif dan komprehensif guna membaca ulang peristiwa Tragedi 1965 sebagai wasilah untuk memberikan akses kepada kaum muda, juga rakyat Indonesia akan sumber informasi yang seimbang seputar tragedi ini dan tidak melulu terfokus pada versi tunggal rezim Orde Baru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *