Kebijakan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak Harus Ditinjau Ulang
KOMISIONER Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) kata pertama kekerasan seksual pada anak sudah masuk dalam tahap darurat dan mengkhawatirkan. Menurutnya, kondisi ini dipicu oleh kompleksitas kekerasan pada anak yang semakin meningkat karena faktor ekonomi dan sosial, sehingga perlu keterlibatan semua pihak dalam upaya penindakan dan pencegahan.
“KPAI melihat kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak saat ini sudah sangat memprihatinkan, bisa disebut sudah darurat. Penting untuk memperdalam sistem pendidikan seksual sejak anak usia dini, jangan sampai pendidikan seksual ini menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan dengan anak, karena bermanfaat untuk mencegah anak dari tindakan kekerasan seksual,” ujarnya kepada Media Indonesia di Jakarta pada Kamis (26/9).
Catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2023 mencatat dari 3.877 kasus pengaduan yang masuk, sebanyak 1.866 aduan terkait kasus perlindungan khusus anak. Kasus pengaduan tersebut didominasi oleh kasus kekerasan seksual. Selain itu, sebanyak 262 kasus pengaduan kekerasan pada anak dilakukan oleh ayah kandung dan 153 kasus dilakukan oleh ibu.
Baca juga: KPAI Sebut Raperpres Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring Mendesak untuk Disahkan
Menurut Kawiyan, pendidikan seksual semakin penting bagi anak dengan situasi kerentanan agar anak dapat mempertahankan dirinya dari kekerasan seksual harus terus didorong, mengingat semakin banyak kasus yang dilaporkan akibat kekerasan yang dilakukan oleh orang terdekat anak baik orang tua hingga guru.
“Angka tersebut menunjukan bahwa orangtua harus diberi edukasi tentang perlindungan anak, anti kekerasan dan pentingnya hak-hak anak. Negara juga harus merumuskan ulang tentang kebijakan pembangunan keluarga dan pola pengasuhan,” jelasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra terus mendorong keterlibatan pemerintah daerah untuk menjalankan kebijakan pencegahan dan perkindungan anak secara maksimal khususnya melalui lingkup pendidikan.
Baca juga: Masyarakat Diminta Tidak Sebarluaskan Identitas Anak dalam Kasus Hukum
Jasra tak memungkiri bahwa masih banyak pelaku kejahatan seksual kepada anak di Indonesia yang menyembunyikan perbuatan bejatnya dengan balutan sebagai tokoh atau sosok yang selama ini diimajinasikan sebagai penjaga ethical yang wajib dihormati dan disegani masyarakat.
“Realitasnya masih banyak pelaku kekerasan seksual pada anak yang menyembunyikan perilaku bejat mereka atas nama alasan kebenaran, yang dibungkus dengan profesi yang katanya mendidik anak atau melindungi anak, lalu mereka memanipulasi anak seolah-olah perbuatannya benar, agar para korban patuh menerima aksi bejatnya,” kata Jasra.
Atas dasar relasi kuasa yang kerap terjadi dalam kasus-kasus kekerasan pada anak, Jasra menekankan pentingnya penegakan hukum pidana yang berlapis terhadap pelaku kejahatan seksual sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak hingga Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). (H-2)