Layanan Aborsi Aman Melalui Obat Bagi Korban Kekerasan Seksual Harus Diperjelas

Layanan Aborsi Aman Melalui Obat Bagi Korban Kekerasan Seksual Harus Diperjelas


Layanan Aborsi Aman Melalui Obat Bagi Korban Kekerasan Seksual Harus Diperjelas
Ilustrasi(freepik.com)

LAYANAN aborsi aman merupakan kebutuhan nyata korban kekerasan seksual dan merupakan bagian dari sistem pemulihan yang harus tersedia untuk korban. Layanan ini dimaksudkan untuk mengurangi ancaman gangguan kesehatan psychological kepada korban akibat tekanan atas kehamilan yang tidak diinginkan. Hal itu telah tertuang pada Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 17/2023.

Direktur Usia Produktif dan Lanjut Kementerian KesehatanVensya Sitohang mengatakan pihaknya akan memperjelas aturan aborsi aman baik secara teknis dan administrasi melalui aturan Peraturan Menteri Kesehatan, salah satunya aborsi aman melalui konsumsi obat sesuai rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (SIAPA).

“Sesuai dengan regulasi, hanya ada dua aborsi yang bisa dilakukan yaitu atas indikasi kerentanan medis dan korban pemerkosaan atau kekerasan seksual lainnya yang membuatnya hamil. Terkait izin aborsi melalui penggunaan obat seperti Misoprostol itu memang izinnya belum ada masih berproses,” jelasnya dalam acara Mini Pageant Keadilan Reproduksi bertajuk ‘Mengupayakan Akses Layanan Kesehatan Komprehensif untuk Korban Kekerasan Seksual’ di Jakarta pada Minggu (29/9).

Baca juga: Aborsi dalam RUU Kesehatan Dinilai Berpihak pada Korban Kekerasan Seksual

Vensya menjelaskan obat Misoprostol yang bisa dipakai untuk mengaborsi janin saat ini masih diproduksi dengan izin edar untuk mengobati gangguan tukak lambung. Namun, obat tersebut diketahui bisa memicu kontraksi dan meluruhkan dinding rahim yang berefek pada gugurnya janin jika dikonsumsi oleh ibu hamil.

“Sebenarnya dari proses ini kita sudah mengajukan, kami pernah melakukan diskusi dengan BPOM untuk menjadikan obat ini criminal tapi dari produsen obat merekomendasikan bahwa ini hanya bisa digunakan untuk sesuai dengan kebutuhan. Sampai saat ini belum ada produsen ataupun distributor yang mengajukan obat tersebut sebagai izin edar untuk aborsi tersebut kepada BPOM,” jelasnya.

Vensya menjelaskan aborsi dengan metode obat menjadi salah satu prosedural yang aman dan jauh lebih murah. Hal ini juga menjadi salah satu cara yang direkomendasikan oleh WHO, namun metode ini harus disesuaikan dengan berbagai indikasi dan faktor resiko dari kondisi sang Ibu.

Baca juga: Krisis Mental Remaja: Tantangan Terlupakan

“Metode-metode aborsi itu ada beberapa macam pertama dengan obat atau medikamentosa dan kedua dengan tindakan tindakan, itu pun ada berbagai macam dengan operasi. Jadi sebenarnya kita kembalikan pada kondisi si Ibu,” tuturnya.

Pada beberapa kasus, lanjut Vensya ,misoprostol digunakan bersamaan dengan obat lain, seperti mifepristone. Namun, mifepristone cenderung sulit didapat dan harganya jauh lebih mahal daripada misoprostol, sehingga banyak orang yang menggunakan misoprostol saja.

Mengenai batasan usia tindakan aborsi, hal ini menjadi sangat penting mengingat besarnya risiko yang bisa ditimbulkan. Menurut Vensya, semua tindakan medis, termasuk tindakan aborsi, memiliki risiko. Ia mengerti jik adanya keberatan dari beberapa pihak terhadap aturan aborsi yang dilakukan maksimal usia 14 minggu karena semakin besar usia kehamilan akan semakin meningkatkan risiko.

“Kalau memang diharuskan sampai dengan 14 minggu, artinya ini sangat baik untuk kita bisa lebih berpihak pada korban, karena kita tahu bahwa di minggu-minggu pertama itu jarang yang bisa melaporkan kehamilannya, bagaimanapun tidak mudah bagi korban untuk berbicara tentang kehamilannya dan itu butuh proses,” jelasnya. (H-2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *