Pastikan Proses Hukum Berjalan pada Kasus-Kasus Kekerasan Seksual oleh Pejabat Publik
KOMISI Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendorong semua pihak untuk menegakkan keadilan hukum pada kasus-kasus kekerasan seksualtidak kecuali pada kasus-kasus yang dilakukan oleh pejabat publik.
Hal ini disampaikan atas adanya kasus tersangka AH, anggota DPRD Kota Singkawang dari hasil Pemilu 2024, yang diduga melanggar Pasal 81 dan Pasal 82 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 4 Ayat (2) UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Sejak kasus ini diketahui publik, Komnas Perempuan telah melakukan komunikasi dan koordinasi dengan berbagai pihak. Kami mengapresiasi dan mendukung upaya pihak korban dan keluarga untuk mencari keadilan dan memperoleh bantuan pemulihan,” ujar Andy Yentriyani, ketua Komnas Perempuan di Jakarta pada Kamis (3/9).
Baca juga: Sinergitas Data Kunci Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan
Terkait dengan kasus ini, Komnas Perempuan mendukung langkah Kepolisian Provinsi Kalimantan Barat dan Lodge Singkawang untuk mempercepat proses penyidikan, mengingat telah ada penetapan sebagai tersangka. Selain itu, langkah proaktif dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang terus berkoordinasi bersama untuk memastikan dukungan pemenuhan hak-hak korban.
“Kami juga memantau perkembangan laporan ke Propam, yang kami harapkan prosesnya memantapkan akses hak korban kekerasan seksual,” ungkap Andy.
Sepanjang tahun 2023, Komnas Perempuan mencatatkan bahwa kekerasan seksual adalah kasus yang mendominasi laporan ke lembaga layanan, yaitu sebanyak 2.363 kasus, sementara juga ada 2.078 kasus TPKS dari 4374 kasus yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan.
Baca juga: Ancaman Kekerasan terhadap Perempuan di Masa Depan Semakin Kompleks
“Pelaku tercatat berasal dari kalangan yang seharusnya menjadi pelindung, teladan, dan panutan masyarakat, selain yang merupakan anggota keluarga dari korban. Sementara korban TPKS yang paling banyak masih berstatus pelajar atau mahasiswa, dengan lapisan kerentanan, baik karena jenis kelamin, usia anak, standing sosial-ekonomi dan/atau statusnya sebagai anak yatim,” ujar Andy.
Kondisi serupa ini pula yang dilaporkan dihadapi korban dalam kasus AH, dimana korban berusia 13 tahun dan berasal dari keluarga yang miskin dengan ibu sebagai orang tua tunggal saat mengalami kekerasan di pertengahan tahun 2023 lalu.
“Tersangka TPKS dilantik sebagai Anggota DPRD tentu akan dirasakan sebagai mencederai keadilan publik, di saat negara sedang mengoptimalkan upaya menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan anak,”ujar Komisioner Maria Ulfah Anshar.
Baca juga: Harapan pada Pemerintahan Baru untuk Cegah Kekerasan di Satuan Pendidikan
Atas dasar itu, Maria mendorong agar mempercepat penyidikan kasus tersebut, terlebih korban adalah kelompok paling rentan dan anak yatim yang harus dilindungi masyarakat dan negara.
“Saat ini tersangka telah diberhentikan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sementara penghentian dari posisi di DPRD Kota Singkawang masih menunggu tindak lanjut,” tuturnya.
Selain itu, Maria menjelaskan harus ada langkah lanjutan untuk memastikan mandat UU TPKS terkait kewajiban untuk menyelenggarakan pencegahan TPKS secara cepat, terpadu, dan terintegrasi di bidang Pemerintahan dan Tata Kelola Kelembagaan.
Baca juga: Direktorat PPA-PPO Dituntut Mampu Tingkatkan Kepedulian Penegak Hukum
“Pencegahan di bidang ini meliputi kewajiban membangun komitmen anti Kekerasan Seksual sebagai salah satu syarat perekrutan, penempatan dan promosi,” jelasnya.
Komisioner Siti Aminah Tardi menjelaskan ketentuan pada PKPU No 10 tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota hanya mensyaratkan calon tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun.
“Ketentuan ini tidak bisa menjangkau kasus TPKS atau Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak yang masih pada tahap penyelidikan atau penyidikan. Padahal jika calon terpilih, potensi impunitas dan penyalahgunaan kekuasaan untuk menghambat keadilan berpotensi terjadi. Akibatnya korban akan semakin tidak terlindungi,” jelasnya.
Oleh karena itu, lanjut Aminah, ada kebutuhan bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan partai politik untuk membangun sistem rekrutmen yang menunjukkan komitmen membangun ruang aman dari kekerasan seksual.
“Perbaikan persyaratan dalam sistem rekrutmen penting mengingat jabatan anggota legislatif tidak sekedar sebagai pejabat publik tapi negarawan yang seharusnya menjadi teladan yang menjunjung tinggi rasa keadilan publik khususnya korban dan keluarganya,” katanya.
Sementara proses hukum berjalan dan pendampingan bagi korban saat ini dikawal oleh kuasa hukum berkoordinasi dengan lembaga dan instansi terkait, Komnas Perempuan berharap masyarakat sipil dan media massa untuk terus mengawal penanganan kasus ini dengan tetap memenuhi hak korban dan keluarganya atas identitas dan privasinya. (H-2)