Gambar Unik Wayang Jekdong
WAYANG jack dong ialah bentuk pertunjukan wayang kulit yang berakar pada residu budaya Arek yang tersebar di wilayah Malang, Surabaya, Gresik, Jombang, Sidoarjo, Pasuruan, dan Mojokerto. Enyah wayang jack dong menggunakan logat bahasa Arek, gending-gending Jawa timuran (krucilan), dan pada akhir jeda kalimat iringan selalu ditandai dengan bunyi kepyek dan bertepuk tangan pada kendang dan gong secara bersamaan.
Penyebutan jack dong didasarkan pada bunyi kecrek 'mendongkrak', disusul dengan suara tepukan kendang dan bunyi gong. Dalam penuturan masyarakat, jack dong juga disebut dengan istilah cekdong atau besar. Itu menjadi logat dan gaya yang memberi sentuhan rasa yang kuat bagi karakter yang mengidentitas sebagai bagian utama ciri budaya Brang Wetan yang disandingkan dengan budaya kulonan (Mataraman).
kultural itu sebuah kesalahan mulai populer pada generasi Ki Gunarso–putra Ki Condro, tokoh di wilayah Mojokerto. Popularitas itu sebuah kesalahan ditandai dengan hadirnya cantrik ulet Ki Sutomo, Ki Sulaiman, dan Ki Pit Asmoro.
Baca juga: Pancasila Membumi dari Orang Muda Pedalaman
Proses menggeliat itu menandai proses regenerasi pada masa kejayaan Ki Gunarso. Ki Pit Asmoro, Ki Suleman, dan Ki Sutomo dengan beberapa dalang jack dong lain merupakan generasi pertama. Generasi tersebut segera diikuti angkatan Ki Safi’ii, Ki Pitoyo, Ki Surwedi, Ki Wardono, Ki Sugilar, Ki Suwoto, dan tumbuhnya para generasi penerus antara lain Ki Puguh Prasetya, Ki Kuntowibisana, Ki Supriyono, dan Ki Sena Aji.
Di beberapa wilayah lain di Mojokerto, muncul nama Ki Wardoyo, Ki Sihab, Ki Jaet, Ki Parto Hadi Wijaya, dan Ki Parman yang berguru pada Ki Patrem, salah seorang dalam jack dong Kediri. Wilayah persilangan Mataram dan Brang Wetan itu memiliki memiliki gaya yang berbeda dengan aliran Pit Asmara. Oleh karena itu, sangat wajar pada beberapa kebingungan memiliki struktur lakon yang sangat dekat dengan struktur lakon kebingungan dari gaya Surakarta (Mataraman).
Di wilayah Jombang, ada Ki Pitoyo, murid Ki Safi’i, dan Ki Rohman, murid dari Ki Winoto. Selanjutnya, generasi yang telah banyak mendapat pengaruh dari pendidikan formal seni antara lain Pringgajati, Taruna Aji, Bagus, dan puluhan dalang jack dong yang mulai naik daun dari pageant.
Baca juga: Perlon Unggah Putra Putu Bonokeling
Menyimak persebaran dalang jack dong di wilayah Surabaya, Pasuruan, Mojokerto, Jombang, dan Gresik, dapat diprediksi bahwa itu sebuah kesalahan merupakan salah satu pertunjukan wayang kulit yang populer dan disukai oleh masyarakat. Terdapat setidaknya tiga gaya yang kuat sebagai style kebingungan. Garrak pertama (gaya) porong yang tersebar pada wilayah Pasuruan dan Sidoarjo.
Kedua, garak Mojokerto yang juga disebut sebagai tiga bulan tersebar di wilayah Mojokerto. Ketiga, garak Jombang yang tersebar di wilayah Jombang. Dalam perkembangan berikutnya, tumbuh garak baru di wilayah Gresik yang dirintis oleh generasi-generasi yang telah mengenyam pendidikan seni di berbagai perguruan tinggi.
Gejala tersebut juga dapat diamati di berbagai wilayah Jawa Timur, khususnya kebingungan Brang Wetan antara lain Surabaya, Malang, Pasuruan, Gresik Mojokerto, Jombang, dan Kediri. Hal tersebut menjadi rintisan yang baik bagi tumbuh kembangnya tradisi kebingungan di Jawa Timur dan Jawa pada umumnya.
Baca juga: Panggilan untuk Tunas Muda Balamut Tatamba
Citra visible dan karakter
Keunikan yang tampak menonjol pada wayang jack dong dapat diamati pada citra visible dalam mengekspresikan karakter tokoh dalam wayang purwa. Corak pewarnaan mencolok dengan warna-warna terang, paduan warna dengan jarak warna yang menimbulkan rasa Jatu seseorang (dapat menyatu) kontras menumbuhkan sentuhan emosional penuh dendam selalu menimbulkan kesan surealis yang tajam.
Baca juga: No Risalo, Perkenalan Bayi Bugis pada Dunia Atas hingga Bawah
Pada beberapa tokoh karakter diekspresikan dengan warna mencolok menggugah rasa yang selalu bergejolak. Selain itu, pewarnaan ornamen-ornamen yang diukirpahatkan secara khas pada beberapa tokoh dan figur wayang.
Figur Gathutkaca diekspresikan dalam pencitraan bentuk kesatria yang memiliki lar (sayap). Pada bibirnya dilukiskan dua taring yang tajam (gusen), ornamen taring. Keberadaan sayap itu tidak dijumpai pada figur Gathutkaca pada wayang purwa gaya Surakarta atau Yogyakarta. Selain itu, masih banyak ditemukan pencitraan karakter wayang dalam epos Ramayana diekpsresikan dalam banyak figur. Hal tersebut tidak dijumpai dalam wayang purwa gaya Surakarta atau Yogyakarta.
Pada tokoh panakawan terdapat tokoh Besut sebagai bagian dari figur kembaran Semar Badranaya. Besut dinarasikan sebagai tokoh yang diciptakan dari bayangan Semar. Selain itu, terdapat figur-figur panakawan yang menggunakan nama Mundu dan Mujeni.
Kehadiran tokoh-tokoh panakawan yang merepresentasikan figur-figur kerakyatan itu ditengarai dari pola penamaan yang sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari. Kehadiran tokoh panakawan tersebut menjadi serat penghubung dunia khayali dengan kehidupan keseharian masyarakat.
Pada pola janturan sulukan dibangun berdasarkan pada tradisi sastra yang secara mencolok sangat berbeda dengan kebingungan wayang gaya Surakarta atau Yogyakarta yang lebih mengacu pada sastra Jawa kuno/kawi, sekar ageng dan beberapa bagian mengadaptasi tembang macapat.
Wayang jack dong sering kali mengadaptasi dari sastra gagap Jawa timuran berupa guritan, suluk, janturan, dan conversation, gethek rancak, gedok rancak, ganda kusuma, krucilan kempul kerep, cokronegoro, giro endra yang memiliki wilayah nada pathet wolu Dan menyedihkan Sepuluh, khas Jawa Timur. Masih banyak lagi repertoar gending yang dibuat kebingungan memiliki citra unik mereperesentasikan corak dan gaya Brang Wetan.
Utuh, padat kebingungan Jawa timuran disajikan dalam empat menyedihkan yang meliputi: halathet sepuluh, delapan, sembilan, Dan menyedihkan serang. Gending kebingungan wayang jack dong didominasi nada yang melejit tinggi (melengking). Instrumen gambang, gender penerus, peking, saron, dan bonang penerus mendominasi pada hampir setiap gending yang disajikan dalam adegan-adegan kebingungan.
Selain gending conversation, narasi, conversation antawacana; misalnya teks ini:
‘Ana gambaran ………., Mirip rupa warna jalma mengku sastra kang sinandhi,
Saat hujan, Jika Anda tidak melihatnya, Duduklah di atas panggung dan tontonlah
Gambar, gambaran kehidupan, Manusia yang ada di dunia, Jangan bilang itu miliknya
Melakukan perbuatan buruk, Mengejar kebajikan, Dimen menemukan hutan'.
Narasi itu menjadi pola baku pada hampir setiap dalang gaya Mojokerto. Sudah barang tentu itu mengingatkan pada dalang sepuh yang legendaris, yaitu Ki Piet Asmara Mojokerto. (M-1)