Pakar Kebijakan Seluruh Menteri yang Terlibat dalam Kebijakan Impor Gula Harus Diperiksa
PAKAR Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan, kasus penetapan tersangka korupsi gula yang menjerat Mantan Menteri Perdagangan Thomas “Tom” Trikasih Lembong mengandung kejanggalan.
Menurutnya, kebijakan impor gula bukan hanya keputusan satu menteri namun merupakan keputusan kolektif yang diterapkan oleh beberapa Menteri Perdagangan di generation Presiden Jokowi.
“Menteri-menteri perdagangan lain sejak 2013, seperti Enggartiasto Lukita, Agus Suparmanto, dan Muhammad Lutfi kita juga tahu semuanya memberikan izin impor gula dengan alasan yang beragam, dari stabilisasi harga hingga menjaga pasokan dalam negeri tapi kenapa hanya Tom Lembong yang ditahan, ini jadi standar ganda,” kata Achmad kepada Media Indonesia pada Kamis (31/10).
Achmad menjelaskan bahwa pola kebijakan impor gula harus dievaluasi secara overall, tak hanya pada masa satu menteri namun juga semua menteri. Menurutnya, hal ini semakin aneh mengingat knowledge tahun-tahun berikutnya menunjukkan pola kebijakan yang sama, meskipun pemerintah sering mengklaim swasembada gula atau surplus gula, seperti pada 2018, 2021, dan 2022.
“Namun, izin impor terus diberikan dan bahkan mencapai angka tertinggi pada 2022. Kondisi ini mengundang spekulasi bahwa ada unsur tebang pilih dalam proses hukum terhadap Lembong,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Achmad menyampaikan bahwa izin impor telah diberlakukan oleh berbagai Menteri Perdagangan dalam periode tersebut. Secara logis kebijakan, maka seluruh pihak terkait termasuk menteri-menteri lain, harus diperiksa.
“Kebijakan ini hanya membawa Lembong ke meja hijau, sementara menteri-menteri lain yang memprakarsai izin serupa tetap bebas dari tindakan hukum. Dengan hanya menahan Lembong, proses hukum tampak tidak konsisten,” ujarnya.
Achmad menjelaskan bahwa pada 2022, impor gula mencapai angka tertinggi selama satu dekade. Hal ini menunjukkan bahwa pola impor dengan melibatkan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), sebuah BUMN, telah aktif dalam impor gula sejak 2009, untuk mengatasi kekurangan stok gula nasional, tetap berlangsung meskipun kondisi pasokan dalam negeri kerap kali cukup.
Sebagai BUMN, Achmad menurutkan bahwa PPI bertugas melaksanakan kebijakan dan distribusi gula yang diimpor sesuai izin dari kementerian, bukan untuk mengalihkan distribusi ke pihak swasta sehingga tuduhan bahwa PPI menjual gula yang seharusnya didistribusikan ke masyarakat tanpa koordinasi juga menimbulkan pertanyaan.
“Jika PPI aktif dalam distribusi atau transaksi yang melanggar aturan, maka semestinya tanggung jawab operasional berada pada PPI, dan peran Lembong seharusnya terbatas pada pemberian izin,” jelasnya.
Tuduhan ini, kata Ahcmad, juga menimbulkan asumsi bahwa keterlibatan PPI dalam impor gula mungkin lebih besar dari sekadar pelaksana kebijakan. Selain itu, dinamika inner PPI juga berpotensi mempengaruhi arah kasus ini.
“Untuk menjaga kredibilitas lembaga penegak hukum, sangat penting memastikan bahwa setiap pihak yang memiliki tanggung jawab atau pengaruh dalam pelaksanaan impor gula diperiksa,” tegasnya.
Selain itu, kasus ini semakin janggal lantaran juga muncul adanya keputusan serupa berulang kali terkait kebijakan imlor gula yang dilakukan oleh menteri perdagangan lainnya di generation yang sama namun tanpa konsekuensi hukum.
Misalnya, pada 2018, pemerintah mengumumkan swasembada gula, namun tetap memberikan izin impor sebesar 4,6 juta ton. Pada 2021 dan 2022, surplus gula nasional kembali diklaim, tetapi angka impor mencapai rekor tertinggi pada 2022 dengan lebih dari 6 juta ton.
“Bahkan kebijakan impor beras menunjukkan pola serupa, pemerintah sering mengklaim swasembada, tetapi tetap mengimpor dengan alasan menjaga harga atau persediaan,” tandasnya. (H-2)