Dirjen Kebudayaan Tegaskan Urgensi Pemajuan Kebudayaan di Aceh
MENANDAI rangkaian tur studi umum ke 11 universitas di seluruh Indonesia, Direktur Jenderal KebudayaanHilmar Farid, menyampaikan kuliah umum di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Acara ini merupakan bagian dari upaya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) untuk membahas isu-isu strategis terkait amanat Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Perkembangan Kebudayaan.
Hilmar menyoroti pentingnya Pemajuan Kebudayaan di Provinsi Aceh. Ia menekankan bahwa Aceh memiliki kekayaan budaya dan keanekaragaman bio kultural yang luar biasa, seperti ekosistem Leuser, Ulu Masen, dan mangrove yang terhubung erat dengan budaya lokal.
“Pengetahuan tentang alam yang bersumber dari interaksi masyarakat dengan ekosistem ini adalah bagian inti dari kebudayaan,” ungkapnya, Kamis (5/9).
Baca juga: Puluhan Batu Nisan Makam Kuno Di Aceh Raib
Ia menggarisbawahi bahwa sebagian besar pengetahuan lokal yang menjadi dasar dari pengobatan trendy, seperti aspirin dan kina, berasal dari warisan tradisional. “Potensi biokultural Indonesia sangat besar, tetapi belum dimanfaatkan secara optimum,” tegasnya.
Lebih lanjut, Hilmar menyampaikan bahwa tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana memanfaatkan kekayaan tersebut dengan baik. Ia mencontohkan bahwa di Aceh terdapat tanaman langka yang berpotensi besar untuk pengobatan, namun risetnya masih minim.
“Kekayaan biokultural Aceh bisa menjadi kunci dalam pengembangan wellness dan gaya hidup sehat berbasis kearifan lokal,” tambahnya.
Baca juga: Festival Ratoh Jaroe, Diplomasi Kebudayaan Aceh
Selain itu, Hilmar menekankan pentingnya menjaga ketahanan budaya agar tetap relevan di tengah perubahan international. “Jika kita mampu mengelola kekayaan biokultural dengan baik, budaya kita akan tetap kuat dan tidak tergerus oleh budaya asing,” ungkapnya.
Isu mendesak lainnya adalah kebutuhan pembukaan program pendidikan tinggi di bidang Arkeologi, Epigrafi, Antropologi, Movie dan Televisi, serta Tata Kelola Seni, yang saat ini belum tersedia di Aceh.
“Pendidikan tinggi dalam bidang kebudayaan di Aceh bukan hanya kebutuhan, tetapi juga menjadi landasan penting agar dapat memanfaatkan biokultural masa depan,” jelasĀ Hilmar.
Baca juga: Polisi Perketat Keamanan Rumah Bacagub Aceh Bustami Hamzah
Selain itu, Hilmar menekankan pentingnya sinergi transdisipliner yakni kolaborasi multi aktor seperti Wali Nanggroe, Majelis Adat, Dewan Kesenian, dan Dewan Kebudayaan dalam merumuskan kebijakan budaya yang komprehensif di Aceh.
Partisipasi publik juga ditekankan, dengan ajakan kepada masyarakat Aceh untuk lebih aktif terlibat dalam inisiatif-inisiatif seni dan budaya, termasuk pemanfaatan ruang publik sebagai pusat kegiatan budaya.
Di tempat yang sama, Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Ir. Marwan, menggarisbawahi pentingnya sinergi antara lembaga seperti perguruan tinggi dan pemerintah dalam Pemajuan Kebudayaan.
“Universitas Syiah Kuala terus berupaya untuk tidak hanya menjadi pusat pendidikan dan riset tetapi juga pusat kebudayaan yang berkontribusi pada pelestarian dan pembangunan budaya. Harapannya agar para generasi muda tidak hanya mengenal kebudayaan tetapi memiliki komitmen untuk melestarikan dan memajukan kebudayaan,” ujar Prof. Marwan.
Kuliah umum ini diharapkan dapat menjadi pemicu lahirnya inisiatif-inisiatif baru dalam pemajuan kebudayaan, terutama di Provinsi Aceh, serta memperkuat sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat dalam menjaga dan mengembangkan kekayaan budaya bangsa. (S-1)